Pemilu RW

Pemilu RW

Jumat, 18 Mei 2012

Partai GOLKAR


LATAR BELAKANG GOLKAR
Partai golongan karya (Partai Golkar), sebelumnya bernama golongan karya (Golkar) dan sekretariat bersama golongan karya (sekber golkar), adalah sebuah partai politik di indonesia. partai Golkar bermula dengan berdirinya sekber Golkar di masa-masa akhir pemerintahan presiden Soekarno, tepatnya 1964 oleh angkatan darat untuk menandingi pengaruh partai komunis indonesia dalam kehidupan politik. dalam perkembangannya, sekber Golkar berubah wujud menjadi Golongan Karya yang menjadi salah satu Organisasi peserta pemilu.
Dalam Pemilu 1971 (Pemilu pertama dalam pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto), salah satu pesertanya adalah Golongan Karya dan mereka tampil sebagai pemenang. Kemenangan ini diulangi pada Pemilu-Pemilu pemerintahan Orde Baru lainnya, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Kejadian ini dapat dimungkinkan, karena pemerintahan Soeharto membuat kebijakan-kebijakan yang sangat mendukung kemenangan GOLKAR, seperti peraturan monoloyalitas PNS, dan sebagainya.
Setelah pemerintahan Soeharto selesai dan reformasi bergulir, GOLKAR berubah wujud menjadi Partai GOLKAR, dan untuk pertama kalinya mengikuti Pemilu tanpa ada bantuan kebijakan-kebijakan yang berarti seperti sebelumnya di masa pemerintahan Soeharto. Pada Pemilu 1999 yang diselenggarakan Presiden Habibie, perolehan suara Partai GOLKAR turun menjadi peringkat kedua setelah PDI-P.
Ketidakpuasan terhadap pemerintahan Megawati Soekarnoputri menjadi salah satu sebab para pemilih di Pemilu legislatif 2004 untuk kembali memilih Partai GOLKAR, selain partai-partai lainnya seperti Partai Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa, dan lain-lain. Partai GOLKAR menjadi pemenang Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif pada tahun 2004 dengan meraih 24.480.757 suara atau 21,58% dari keseluruhan suara sah.
Kemenangan tersebut merupakan prestasi tersendiri bagi Partai GOLKAR karena pada Pemilu Legislatif 1999, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan mendominasi perolehan suara. Dalam Pemilu 1999, Partai GOLKAR menduduki peringkat kedua dengan perolehan 23.741.758 suara atau 22,44% dari suara sah. Sekilas Partai GOLKAR mendapat peningkatan 738.999 suara, tapi dari prosentase turun sebanyak 0,86%.
Perolehan Suara
Menilik masa Orde Baru, Golkar merupakan dominant party (partai dominan) dalam setiap pemilu--terlepas dari political engineering (rekayasa politik) penguasa, sebut saja dari tahun 1971 (62,80 persen); 1977 (62,11 persen); 1982 (64,34 persen); 1987 (73,17 persen); 1992 (68,10 persen); 1997 (74,51 persen). Seiring meletusnya reformasi 1998, pada Pemilu 1999 Golkar mengalami kekalahan dengan menempati posisi kedua (22,44 persen).
Golkar kembali menjadi the winner party (partai pemenang pemilu) pada Pemilu 2004 (21,6 persen) walaupun menelan pil pahit kekalahan dalam pemilihan presiden perdana secara langsung. Namun, kejayaan Golkar kembali meredup--bahkan konon terpuruk sepanjang sejarah Golkar--pada Pemilu 9 April 2009 dengan menempati posisi ke-2 (14,45 persen) dan posisi ketiga (12,41 persen) pada Pilpres 8 Juli 2009.

Sejarah Berdiri Golkar
Pada tahun 1964 untuk menghadapi kekuatan PKI (dan Bung Karno), golongan militer, khususnya perwira Angkatan Darat ( seperti Letkol Suhardiman dari SOKSI) menghimpun berpuluh-puluh organisasi pemuda, wanita, sarjana, buruh, tani, dan nelayan dalam Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar).
Sekber Golkar didirikan pada tanggal 20 Oktober 1964. Sekber Golkar ini lahir karena rongrongan dari PKI beserta ormasnya dalam kehidupan politik baik di dalam maupun di luar Front Nasional yang makin meningkat. Sekber Golkar ini merupakan wadah dari golongan fungsional/golongan karya murni yang tidak berada dibawah pengaruh politik tertentu. Jumlah anggota Sekber Golkar ini bertambah dengan pesat, karena golongan fungsional lain yang menjadi anggota Sekber Golkar dalam Front Nasional menyadari bahwa perjuangan dari organisasi fungsional Sekber Golkar adalah untuk menegakkan Pancasila dan UUD 1945. Semula anggotanya berjumlah 61 organisasi yang kemudian berkembang hingga mencapai 291 organisasi.
Dengan adanya pengakuan tentang kehadiran dan legalitas golongan fungsional di MPRS dan Front Nasional maka atas dorongan TNI dibentuklah Sekretariat Bersama Golongan Karya, disingkat Sekber GOLKAR, pada tanggal 20 Oktober 1964. Terpilih sebagai Ketua Pertama, Brigadir Jenderal (Brigjen) Djuhartono sebelum digantikan Mayor Jenderal (Mayjen) Suprapto Sukowati lewat Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) I, Desember 1965.
Pada awal pertumbuhannya, Sekber GOLKAR beranggotakan 61 organisasi fungsional yang kemudian berkembang menjadi 291 organisasi fungsional. Ini terjadi karena adanya kesamaan visi diantara masing-masing anggota. Organisasi-organisasi yang terhimpun ke dalam Sekber GOLKAR ini kemudian dikelompokkan berdasarkan kekaryaannya ke dalam 7 (tujuh) Kelompok Induk Organisasi (KINO), yaitu:
  1. Koperasi Serbaguna Gotong Royong (KOSGORO)
  2. Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI)
  3. Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR)
  4. Organisasi Profesi
  5. Ormas Pertahanan Keamanan (HANKAM)
  6. Gerakan Karya Rakyat Indonesia (GAKARI)
  7. Gerakan Pembangunan
Untuk menghadapi Pemilu 1971, 7 KINO yang merupakan kekuatan inti dari Sekber GOLKAR tersebut, mengeluarkan keputusan bersama pada tanggal 4 Februari 1970 untuk ikut menjadi peserta Pemilu melalui satu nama dan tanda gambar yaitu Golongan Karya (GOLKAR). Logo dan nama ini, sejak Pemilu 1971, tetap dipertahankan sampai sekarang.
Pada Pemilu 1971 ini, Sekber GOLKAR ikut serta menjadi salah satu konsestan. Pihak parpol memandang remeh keikutsertaan GOLKAR sebagai kontestan Pemilu. Mereka meragukan kemampuan komunikasi politik GOLKAR kepada grassroot level. NU, PNI dan Parmusi yang mewakili kebesaran dan kejayaan masa lampau sangat yakin keluar sebagai pemenang. Mereka tidak menyadari kalau perpecahan dan kericuhan internal mereka telah membuat tokoh-tokohnya berpindah ke GOLKAR.
Hasilnya di luar dugaan. GOLKAR sukses besar dan berhasil menang dengan 34.348.673 suara atau 62,79 % dari total perolehan suara. Perolehan suaranya pun cukup merata di seluruh propinsi, berbeda dengan parpol yang berpegang kepada basis tradisional. NU hanya menang di Jawa Timur dan Kalimantan Selatan, Partai Katholik di Nusa Tenggara Timur, PNI di Jawa Tengah, Parmusi di Sumatera Barat dan Aceh. Sedangkan Murba tidak memperoleh suara signifikan sehingga tidak memperoleh kursi DPR.
Kemudian, sesuai ketentuan dalam ketetapan MPRS mengenai perlunya penataan kembali kehidupan politik Indonesia, pada tanggal 17 Juli 1971 Sekber GOLKAR mengubah dirinya menjadi GOLKAR. GOLKAR menyatakan diri bukan parpol karena terminologi ini mengandung pengertian dan pengutamaan politik dengan mengesampingkan pembangunan dan karya.
September 1973, GOLKAR menyelenggarakan Musyawarah Nasional (Munas) I di Surabaya. Mayjen Amir Murtono terpilih sebagai Ketua Umum. Konsolidasi GOLKAR pun mulai berjalan seiring dibentuknya wadah-wadah profesi, seperti Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) dan Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI).
Setelah Peristiwa G30S maka Sekber Golkar, dengan dukungan sepenuhnya dari Soeharto sebagai pimpinan militer, melancarkan aksi-aksinya untuk melumpuhkan mula-mula kekuatan PKI, kemudian juga kekuatan Bung Karno.
Pada dasarnya Golkar dan TNI-AD merupakan tulang punggung rezim militer Orde Baru. Semua politik Orde Baru diciptakan dan kemudian dilaksanakan oleh pimpinan militer dan Golkar. Selama puluhan tahun Orde Baru berkuasa, jabatan-jabatan dalam struktur eksekutif, legislatif dan yudikatif, hampir semuanya diduduki oleh kader-kader Golkar.
Keluarga besar Golongan Karya sebagai jaringan konstituen, dibina sejak awal Orde Baru melalui suatu pengaturan informal yaitu jalur A untuk lingkungan militer, jalur B untuk lingkungan birokrasi dan jalur G untuk lingkungan sipil di luar birokrasi. Pemuka ketiga jalur terebut melakukan fungsi pengendalian terhadap Golkar lewat Dewan Pembina yang mempunyai peran strategis.
Setelah Soeharto mengundurkan diri pada 1998, keberadaan Golkar mulai ditentang oleh para aktivis dan mahasiswa.
PERATURAN MONOLOYALITAS
Peraturan Monoloyalitas merupakan kebijakan pemerintahan Orde Baru yang mewajibkan semua pegawai negeri sipil (PNS) untuk menyalurkan aspirasi politiknya kepada Golongan Karya. Setelah Suharto mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998, kebijakan ini dicabut. Sekarang pegawai negeri sipil bebas menentukan wadah aspirasi politiknya.
KETUA UMUM DPP GOLKAR
Tipologi Partai Politik Indonesia
Dengan sistem banyak partai, Indonesia bisa dikatakan mengalami degradasi dalam bidang politik. Betapa tidak sistem multi partai merupakan sistem kepartaian yang sangat kompleksitas dan merumitkan, terutama bagi kalangan konstituen (pemilih), yakni rakyat. Dalam pengertiannya, sistem banyak partai merupakan suatu sistem yang terdiri atas lebih dari dua partai yang dominan. Sistem ini merupakan produk dari stuktur masyarakat yang majemuk, baik secara kultural maupun secara sosial ekonomi. Setiap golongan dalam masyarakat cenderung memelihara keterikatan dengan asal usul budayanya dan memperjuangkan kepentingan melalui wadah politik tersendiri.
Dengan memperhatikan karakteristik partai yang ada saat ini, maka jelas bahwa tipologi partai politik Indonesia memenuhi kriteria seperti di atas. Kemudian apa yang dimaksud dengan tipologi partai politik itu? Tipologi partai politik adalah pengklasifikasian berbagai partai politik berdasarkan kriteria tertentu, seperti asas dan orientasi, komposisi dan fungsi anggota, basis sosial dan tujuan.
Berdasarkan asas dan orientasinya, partai politik diklasifikasikan menjadi tiga tipe, meliputi partai politik pragmatis, partai politik doktriner, dan partai politik kepentingan. Kemudian berdasarkan komposisi dan fungsi anggotanya, partai politik dapat digolongkan menjadi dua, yaitu partai massa atau lindungan dan partai kader. Sedangkan berdasarkan basis sosial dan tujuannya, partai politik dapat dibagi dua, yakni berdasarkan asas sosial dan berdasarkan tujuan.
Berdasarkan basis sosial, Almond menggolongkan partai menjadi empat tipe, pertama, partai politik yang beranggotakan lapisan-lapisan sosial dalam masyarakat, seperti kelas atas, menengah, dan bawah. Kedua, partai politik yang anggotanya berasal dari kalangan kelompok kepentingan tertentu, seperti petani, buruh, dan pengusaha. Ketiga, partai politik yang anggota-anggotanya berasal dari pemeluk agama tertentu, seperti Islam, Katolik, Propesten, dan Hindu. Empat, partai politik yang anggota-anggotanya berasal dari kelompok budaya tertentu, seperti suku bangsa, bahasa, dan daerah tertentu. Dan berdasarkan tujuan, partai politik dibagi menjadi tiga. Pertama, partai perwakilan kelompok, kedua, partai pembinaan bangsa, dan ketiga, partai mobilisasi.
Dari penggolongan tipologi di atas, maka kategorisasi partai politik-partai politik Indonesia termasuk dalam tipologi berdasarkan komposisi dan fungsi anggota. Dalam buku “Memahami Ilmu Politik” karangan Ramlan Surbakti, yang termasuk tipologi ini adalah partai massa atau lindungan (patronage) dan partai kader. Di sini dikatakan bahwa partai massa merupakan suatu partai politik yang mengandalkan kekuatan pada keunggulan jumlah anggota dengan cara memobilisasi massa sebanyak-banyaknya, dan mengembangkan diri sebagai pelindung bagi berbagai kelompok dalam masyarakat sehingga pemilihan umum dapat dengan mudah dimenangkan, dan kesatuan nasional dapat dipelihara, tetapi juga masyarakat dapat dimobilisasi untuk mendukung dan melaksanakan kebijakan tertentu. Hampir sebagian besar partai politik yang ada saat ini termasuk dalam kategorisasi ini.
Walau secara kuantitas yang termasuk tipologi ini memiliki massa pendukung yang sangat besar, akan tetapi partainya memiliki banyak kelemahan. Kelemahan partai ini tampak pada saat pembagian kursi (jabatan) dan pada perumusan kebijakan karena karakter dan kepentingan setiap kelompok dan aliran sangat menonjol. Keputusan serta kebijakan yang dikeluarkan seringkali tidak bisa diterima oleh setiap orang.
Kemudian yang dimaksud dengan partai kader adalah suatu partai yang mengandalkan kualitas anggota, ketetatan organisasi, dan disiplin anggota sebagai sumber kekuatan utama. Seleksi keanggotaan dalam partai kader biasanya sangat ketat, yaitu melalui kaderisasi yang berjenjang dan intensif, serta penegakan disiplin partai yang konsisten dan tanpa pandang bulu. Struktur organisasi partai ini sangat hierarkis sehingga jalur perintah dan tanggung jawab sangat jelas. Karena sifatnya yang demikian, partai kader acap kali disebut sebagai partai yang elitis. Partai Keadilan Sejahtera termasuk dalam kategori ini.
Dalam literatur dikenal beberapa sistem kepartaian yang berlaku di berbagai negara yakni nonpartisan system, single-party systems, dominant-party systems, Two-party systems, dan Multi-party systems. Tidak semua negara sepakat dalam menggunakan sistem itu. Beberapa negara yang menjalankan sistem multi partai tetapi kenyataannya hanya satu partai yang dominan seperti Singapore dengan PAP-nya atau seperti Indonesia di masa Orde Baru dengan Golkar. Negara-negara lain (yang juga multi partai) seperti Amerika Serikat, dalam kenyataannya menggunakan two dominant-party system dengan Partai Republik dan Demokrat. Hal yang sama terjadi di Inggris dengan Partai Buruh dan Konservatif.
Pertanyaanya, bagaimana dengan Indonesia? Pertama, kalau kita amati maka Indonesia menganut sistem multi partai. Dengan sistem pemilu yang berlaku maka semua partai itu punya peluang mendapat kursi baik di DPR maupun DPRD. Sistem pemilu yang menyediakan banyak kursi di setiap daerah pemilihan menyebabkan partai yang tidak meraih suara terbanyak masih menikmati kursi sisa.
Kedua, upaya membatasi jumlah partai peserta pemilu agar tidak terlampau banyak sulit dicapai. Hal ini mengingat Electoral Treshold (ET) tidak dijalankan secara konsekuen. Dengan konsep ET yang lama (meski banyak dikritik) hanya 7 parpol lama yang langsung lolos. Ketentuan itu telah dianulir dalam Pemilu No.10/2008. Sistem ET yang baru yang disebut Parliamentary Treshold (PT) yakni hanya partai yang meraih 2,5 persen suara sah saja yang punya wakil, ternyata dijalankan dengan tidak konsisten yakni hanya untuk DPR saja, sementara DPRD tidak. Dengan demikian banyak partai masih tetap memaksa berdiri paling tidak mendapat kursi di DPRD.
Ketiga, sistem check and balance menjadi tidak terwujud atau tidak jelas. Pemerintahan diisi beberapa wakil dari parpol, tetapi tidak tergabung dalam koalisi yang permanen. Begitu pula pihak oposisi. Tidak ada koalisi oposisi yang mantap. Akibatnya, kebijakan pemerintah acapkali ditolak oleh parpol yang notabene punya wakil di kabinet. “Koalisi” Parpol bersatu tergantung pada isyunya.
Keempat, terwujudnya persaingan dan kerjasama parpol yang tidak jelas. Bayangkan, parpol-parpol di tingkat Pusat, Provinsi, dan Kabupaten tidak diisi atau didukung oleh parpol-parpol yang sama. Kabinet didukung oleh parpol-parpol yang di beberapa provinsi bersaing menjadi lawan dalam pemilihan gubernur. Kasus Maluku Utara jadi contoh paling jelas. Salah satu pasangan didukung oleh partainya Presiden yakni Partai Demokrat. Pasangan lainnya didukung oleh Partainya Wakil Presiden yakni Partai Golkar dan PAN.
Keempat partai ini sama-sama mengisi kabinet di pusat. Kondisi yang sama berlangsung di provinsi dan kabupaten/kota di provinsi tersebut. Begitu juga antar daerah. Satu parpol di satu provinsi berkoalisi dengan parpol lain yang menjadi lawannya di provinsi yang berbeda. Terlihat jelas dari semua paparan di atas. Sistem kita dibangun lebih banyak atas kepentingan pragmatis, bersifat temporer, dan tidak konsisten.


Tidak ada komentar: