PENDAHULUAN
Nahdatul
Ulama merupakan salah satu organisasi terbesar di Indonesia yang ikut
bertanggung jawab untuk memberikan konstribusinya dalam membangun cita-cita
keadaban bangsa. Hal ini tidak lain merupakan konstribusi NU Tidak hanya
dialamatkan kepada jemaah NU saja tetapi lebih besar dari itu bagaimana NU berkonsribusi kepada bangsa. Itu sebabnya
NU sudah dapat merumuskan jalan keadaban yang dapat dikonstribusikan kepada
bangsa dan Negara.
Konsep
Pertama NU ini telah merumuskan Mabadi Khoir Ummat (prinsip dasar ummat
terbaik) yang didasaran pada orientasi moral untuk perubahan sosial ekonomi
masyarakat. Pengukuhan moralitas sebagai landasan dalam kehidupan sosial dan
ekonomi masyarakat bertumpu pada kejujuran dan tanggung jawab, sehingga tata
laku masyarakat dilandasi oleh moralitas yang agung, bukan nafsu serakah
menumpuk kekayaan dan kepentingan ego pribadi.
Kedua,
NU sejak semula telah memberikan konstribusinya terhadap wawasan keagamaan
moderat dan ikut mendorong pembentukan ide kebangsaan. Seperti misalnya NU
telah mask ke ranah Agama tantang Tawassuth (moderat), tasamuh (toleransi),
tawazun (keseimbangan), dan i’tidal (keadilan). Ini merupak peran NU dalam
macam-macam isu keagamaan di tanah air.
Ketiga,
NU juga sudah andil dalam mempelopori tentang ideologi pancasila sebagai asas
bernegara dan bermasyarakat yang seharusnya di terima oleh Islam. Konsepsi ini
diperkuat engan kesetiaan NU terhadap ide-ide kebangsaan yang menjadi titik
tolak dalam mendesign negara Indonesia. Meskipun ide globalisme Islam terus
dikumandangkan hingga sekarang ini, NU kokoh dengan ide kebangsaannya. Bukan
negara khilafah yang dipikirkan oleh NU dalam membangun keadaban bangsa
Indonesia, melainkan negara bangsa yang berideologi Pancasila.
PAHAM KEAGAMAAN
NU menganut
paham Ahlussunah waljama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil
jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli
(skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur'an, sunnah, tetapi
juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir
semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu
Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian
dalam bidang fiqih lebih
cenderung mengikuti mazhab: imam Syafi'i dan
mengakui tiga madzhab yang lain: imam Hanafi, imam Maliki,dan imam Hanbali sebagaimana
yang tergambar dalam lambang NU berbintang 4 di bawah. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan
metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf
dengan syariat.
Gambaran
jelas dari Ahlu Sunnah wal Jamaah yaitu kelompok Asyari dan Maturidi.[1]
Dan identitas ciri-ciri orang beriman dari Aswaja diterangkan oleh ibnu Hanbal
yaitu bersyahadat dan mengakui bahwa iada tuhan selain Allah dan tiada sekutu
baginya serta mengakui Muhammad sebagai utusannya. Dan mengakui segenap yang
diajarkan para nabi dan Rasul mengakui apa yang diakui dan diucapkan.[2]
Serta tidak ragu-ragu atas imannya tersebut.serta tidak mengkafirkan seorang
pun dalam bertauhid.
Gagasan
kembali kekhittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk
menafsirkan kembali ajaran ahlussunnah wal jamaah, serta merumuskan kembali
metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskankembali
hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil kembali membangkitkan
gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.
Ada tiga
orang tokoh ulama yang memainkan peran sangat penting dalam proses pendirian
Jamiyyah Nahdlatul Ulama (NU) yaitu Kiai Wahab Chasbullah (Surabaya asal
Jombang), Kiai Hasyim Asy’ari (Jombang) dan Kiai Cholil (Bangkalan). Mujammil
Qomar, penulis buku “NU Liberal: Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke
Universalisme Islam”, melukiskan peran ketiganya sebagai berikut Kiai Wahab
sebagai pencetus ide, Kiai Hasyim sebagai pemegang kunci, dan Kiai Cholil
sebagai penentu berdirinya.
Tentu selain
dari ketiga tokoh ulama tersebut , masih ada beberapa tokoh lainnya yang turut
memainkan peran penting. Sebut saja KH. Nawawie Noerhasan dari Pondok Pesantren
Sidogiri. Setelah meminta restu kepada Kiai Hasyim seputar rencana pendirian
Jamiyyah. Kiai Wahab oleh Kiai Hasyim diminta untuk menemui Kiai Nawawie. Atas
petunjuk dari Kiai Hasyim pula, Kiai Ridhwan-yang diberi tugas oleh Kiai Hasyim
untuk membuat lambang NU- juga menemui Kiai Nawawie. Tulisan ini mencoba
mendiskripsikan peran Kiai Wahab, Kiai Hasyim, Kiai Cholil dan tokoh-tokoh
ulama lainnya dalam proses berdirinya NU Berikut ini adalah Tokoh-tokoh Nu yang
berperan dalam perkembangan politiknya atau tokoh tertinggi dari Nahdatul Ulama
yaitu.
No
|
Nama
|
Awal Jabatan
|
Akhir Jabatan
|
1
|
|||
2
|
|||
3
|
|||
4
|
|||
5
|
|||
KH Ali Yafie (pjs)
|
|||
6
|
|||
7
|
|||
8
|
sekarang
|
PERGOLAKAN POLITIK
NAHDATUL ULAMA
Nahdatul
Ulama merupakan Organisasi yang berdiri di Langitan Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926 dan bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi. Organisasi ini
merupakan Organisasi Islam terbesar di Indonesia. Nahdatul Ulama banyak di
masukan oleh kaum pesantren atau biasa kita sebut sebagai Islam santri. Sejak berdirinya Nahdatul Ulama peran NU
sangatlah diperhitungkan oleh banyak orang. Tujuan Organisasi ini adalah Menegakkan
ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah waljama'ah di tengah-tengah kehidupan
masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Awal terbentuknya
NU adalah karena faktor ideologis terhadap keagamaan yaitu pada saat kasus
timur tengah yaitu wahabiyah, NU berperan meluruskan terhadap suatu ideologi
tersebut selain itu maraknya suatu gerakan puritanisme Islam atau gerakan
pembaharuan. Tujuan dari NU tersebu dirangkum dalam dua faktor. pertama, untuk
mengimbangi komite Khilafah Islamiyah yang secara berangsur-angsur jatuh
ke tangan golongan pembaharu, kedua untuk berserru kepada Ibnu Sa’ud, penguasa
baru di tanah Arab, agar kebiasaan beragama secara tradisi dapat diteruskan
(Deliar Noor:1994 pg 242). Dalam pandangan Ibnu Sa’ud, persiapan Kongres Kairo,
dengan kemungkinan terpilihnya Raja Fu’ad Sebagai khalifah baru, merupakan
ancaman atas posisi yang baru dimenangkannya di Hijaz. Karena itu, dia
menyelenggarakan kongres tandingan di Mekkah selama Juni-Juli 1926,
berpura-pura menyelenggarakan pembicaraan tentang haji tetapi dalam
kenyataannya berusaha memperoleh legitimasi bagi kekuasaannya atas Hijaz. Kedua
kongres yang hampir bersamaan itu menunjukkan adanya persaingan yang tidak
terlalu tersembunyi untuk meraih kedudukan sebagai pemimpin seluruh umat Islam.
Kedua panitia kongres tersebut dengan berharap dengan cemas melakukan
pendekatan agar seluruh dunia Islam bersedia ikut serta.
Ini sudah
jelas awal jejak NU adalah bukan disebabkan faktor politik melainkan adalah
faktor keagamaan. Semua ini sangat serasi dengan dua jenis politik Nahdatul
Ulama sendiri yaitu kerakyatan dan kenegaraan, yang mana dua model ini
beroritasi pada kebaikan dan kepentingan umum. Akan tetapi lambat laun NU telah
megubah gaya hidupnya baik dari tokoh NU sendiri maupun dari luar NU. Mereka sudah masuk pada kanca perpolitikan
ini di awali saat NU di Masyumi tokoh NU telah kelihatan berebutan kekuasaan
baik dalam tubuh partai maupun di badan eksekutif.
Berbicara masalah gerakan, pasti kita harus mengetahui apa definisi dari
gerakan tersebut, Gerakan politik adalah gerakan sosial
kemasyarakatan di bidang politik. Gerakan politik dapat bekisar disekitar satu
masalah atau dari rangkaian isu permasalahan atau sekitar timbunan keprihatinan
bersama dari sekelompok sosial. Berbeda dengan partai politik, gerakan politik
tidak terorganisir dan memiliki keanggotaan, bukan pula gerakan pada saat pemilu atas
jabatan politik pada kantor-kantor pemerintah akan tetapi lebih merupakan
gerakan politik yang berdasarkan kesamaan dalam kesatuan pandangan politik
untuk tujuan tertentu antara lain untuk meyakinkan atau menyadarkan publik atau
masyarakat termasuk pula para pejabat pemerintahan untuk mengambil tindakan
pada persoalan dan masalah yang merupakan fokus penyebab dari gerakan tersebut.
Dan Berbicara
masalah gerakan politik, NU merupakan Organisasi yang cukup berkembang pesat
dengan cepat dan singkat dengan gerakannya. Organisasi ini memiliki power untuk
membawa kepada perubahan yang baik. Perlu di ingat di NU ada tiga jenis macam
politik, yaitu politik kenegaraan, politik kerakyatan, dan politik kekuasaan.[3]
Dari tiga macam politik ini politik kekuasaan (praktis) menempati kedudukan
paling endah. Ungkapan ini mengingat para politisi NU tahun 1926. Ketika
melihat sejarahnya NU merupakan salah satu Organisasi besar yang dipelopori
oleh Syekh Hasyim Asy’ari dan ulama-ulama terkemuka lainnya. Seperti KH Wahab
Abdullah dan Bisri Sansuri pada tahun 1926. Tujuannya seperti saya ungkap di
atas yaitu melindungi praktik dan pemikiran keagamaan muslim di Indonesia yang
beda dengan pemikir di timur tengah, khususnya Arab Saudiyang puritanisme.
Berarti NU berdiri untuk membela praktis Islam yang cenderung dekat dengan local Islam.
Pertama kali
NU terjun pada politik praktis pada saat menyatakan memisahkan diri dengan
Masyumi pada tahun 1952 dan kemudian mengikuti pemilu 1955.
NU cukup berhasil dengan merahil 45 kursi DPR dan 91 kursi Konstituante. Pada
masa Demokrasi Terpimpin NU dikenal sebagai partai
yang mendukung Sukarno.
Setelah PKI memberontak, NU tampil sebagai salah satu golongan yang aktif
menekan PKI, terutama lewat sayap pemudanya GP Ansor.
NU kemudian
menggabungkan diri dengan Partai
Persatuan Pembangunan pada tanggal 5 Januari 1973 atas desakan
penguasa orde baru.
Mengikuti pemilu 1977 dan 1982 bersama PPP. Pada muktamar NU di Situbondo, NU
menyatakan diri untuk 'Kembali ke Khittah 1926' yaitu untuk tidak berpolitik
praktis lagi. Namun setelah reformasi 1998, muncul
partai-partai yang mengatasnamakan NU. Yang terpenting adalah Partai
Kebangkitan Bangsa yang dideklarasikan oleh Abdurrahman Wahid. Pada pemilu 1999
PKB memperoleh 51 kursi DPR dan bahkan bisa mengantarkan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI.
Pada pemilu 2004, PKB memperoleh 52 kursi DPR.
NU sebagai
Garda Depan
Pada perebutan ideologi bangsa tentang
Pancasila, banyak golongan Islam yang menjadikan Pancasila sebagai justifikasi
atas apa yang mereka perjuangkan membuktikan pancasila hanya sebagai tameng,
yang tidak berarti apa-apa. Akan tetapi semua ini berbeda dengan sikap dan
tindakan NU terhadap Pancasila, NU menerima Pancasila sebagai ideologi bangsa
yang final. Karena analisa kami NU condong akanhal kebersamaan, seperti yang
kita ketahui negara kita ini majemuk dengan banyak agama dan suku yang
berbeda-beda. Ini semua bagaimana merajut dan memperkukuh kemajemukan sebagai
modal sosial di Indonesia.
Disinilah NU
mempunyai paham moderat, yang mana telah mengembalikan pada jati diri pancasila
dalam iklim keagamaan yang moderat. Inti dasar Pancasila sendiri yaitu
kemajemukan yang dibingkai dalam pemersatu dan kebersamaan bukan perpecahan
konflik. Karena itu semangat pancasila sebagai ideologi kebersamaan yang harus
dilestarikan dalam NU agar tidak kehilangan orientasinya yang mengusung paham
kebangsaan dari keagamaan yang moderat. Dalam
konteks inilah NU sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia sudah saatnya
kembali menampilkan karakter Islam yang keindonesiaan seperti yang telah
dipraktekan oleh NU sendiri yaitu Hadratus Syaikh Hasyim Asyari dan kiyai Wahab
Hasbullah. Semua tradisi dan kebudayaan NU yang selalu dipertahankan agar tidak
hilang. Walau semua ini dianggap bidah. Biah disini yaitu adalah bidah hasanah.
Merujuk pada kebaikan besama.
NU juga membincangkan masalah kenegaraan yang
selalu dikaitkan dengan keagamaan. Karena NU juga berfikir bahwa Negara dan Agama
akan selalu bekaitan, terutama pada konteks keindonesian yang pluralistik. Karena
itu sebagian tokoh NU sering memandang Indonesia saat ini tak ubahnya Madinah
di awal kepemimpinan Rasulullah yang memiliki ragam etnik dan pemeluk agama
yang berbeda-beda.
Dinamika umat Islam yang sekilas tergambarkan
dalam pembahasan di atas menunjukan bahwa ada kolerasi antara isu-isu sosial
politik dengan teks keagamaan. Persoalan menjadi bias ketika teks keagamaan
dijadikan alat legitimasi politik. Sejarah panjang NU tidak dapat menhindaran
dari perdebatan persoalang tersebut. Karena NU sendiri mempunyai inisiatif yang
tinggi terhadap kebersamaan antara umat beragama.
Ada
dua hal yang sering menjadi keberatan bagi pemuda-pemuda Islam untuk memasuki
Nahdatul Ulama.[4]
Pertama, NU terlampau Streng atau keras, di dalam tuntutannya pada anggota mengenai
kewajiban-kewajiban agama. Kedua, ialah faktor ulama di dalam NU, seolah-olah
memonopoli perhimpunan, sedang pandangan mereka itu selalu didasarkan pada
keterangan dan perkataan-perkataan para ulama yang terdahulu di dalam
kita-kitab dan buku-buku keagamaan. Oleh karenanya pergerakan suatu himpunan
akan terhalang oleh pandangan para ulama yang dianggapnya “kolot” itu tadi.
Sebenarnya Ulama hanyalah penjaga pelajaran-pelajaran Islam, jangan sampai
dilanggar oleh anggotanya. Semua ini ulama berusaha menjaga pelajaran agama,
seluruhnya tidaklah beku dan jumud tetapi senantiasa dapat mengikuti dan
menyesuaikan diri dengan perkembangan-perkembangan keadaan, asal saja di dalam
dasarnya tidak bertentangan dengan pokok-pokok Islam.
Perlu untuk diketahui seperti apa itu pemikiran dan gerakan Islam
dalam perjalanan sejarah mungkin bisa dijadikan pegangan yang mencari referensi
di Indonesia (yang mungkin menurut saya masih belum lengkap tapi paling tidak
ada sedikit informasi untuk anda yang memerlukannya). Islam di Indonesia pada
dasarnya memiliki corak dan karakter yang beragam, baik dari sisi pemikiran
maupun gerakan. Keragaman ini tercermin dari jumlah organisasi keislaman dan
kelompok kepentingan atas nama Islam yang dari waktu ke waktu semakin
bervariasi.
Dari sisi gerakan dan organisasi massa, kita mengenal ada Nahdlatul
Ulama, Muhammadiyah, Persis, al-Washliyyah, al-Irsyad, Nahdlatul Wathan, Perti,
DDI, al-Khairat, Ijabi, dan lain-lain. Dalam organisasi kepemudaan, ada PMII,
HMI, IMM, Hima Persis, PII, KAMMI, dan sejenisnya. Sedangkan dalam kelompok
kepentingan, ada Forum Komunikasi Ahlussunnah wal Jama’ah (pimpinan Ja’far Umar
Thalib), DDII, FPI, Hizbut Tahrir, KISDI, Lasykar Jihad, PPMI, Ikhwanul
Muslimin, Majlis Mujahidin, dan lain-lain. Dalam partai politik, ada PKB, PNU,
PKNU, PKS, PPP, PSI, PMB, PAN, PBB, dan lain-lain.
Sedangkan dari sisi pemikiran, kita mengenal ada sejumlah kategori yang
biasa dilekatkan dalam pemikiran Islam di Indonesia, yakni Islam tradisionalis,
Islam modernis, Islam neo-tradisionalis, Islam neo-modernis, Islam liberal,
Islam post-tradisionalis, Islam radikal, Islam ekstrim, Islam moderat, Islam
fundamentalis, Islam kanan, Islam kiri, dan sebagainya.
Semua varian yang disebutkan di atas dalam sejarah keindonesiaan tidak
jarang satu sama lain mengalami benturan, ketegangan, pergesekan, dan
persaingan yang sangat dinamis. Dinamika itu terjadi didorong oleh banyak
faktor. Di antara faktor yang dominan adalah perebutan kekuasaan (akses)
politik dan ekonomi. Relasi antar organisasi ini juga tidak simetris atau
paralel, tetapi seperti sarang laba-laba yang satu titik dengan titik lain bisa
saling berhubungan. Jaring laba-laba ini bukan untuk memperkuat atau
melemahkan, melainkan semata-mata untuk memperjuangkan kepentingan
masing-masing.
Tidak selalu orang NU memilih atau mendukung partai PKB, meski PKB
secara resmi didirikan oleh orang-orang PBNU. Banyak orang NU yang mendukung
PPP, Golkar, PDIP, bahkan PKS. Begitu juga orang Muhammadiyah tidak dapat
diidentikkan dengan PAN atau PMB. Di beberapa daerah, seperti Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tenggara, Sumatera Barat, DI Aceh, Sumatera Utara, NTB, tidak sedikit
orang NU adalah orang Perti, al-Washliyah, al-Khairat, DDI, Nahdlatul Wathan.
Satu orang aktif di dua organisasi sosial keagamaan sekaligus. Bahkan, ada
orang NU yang menjadi aktivis Muhammadiyyah, Lasykar Jihad, FPI, dan Hizbut
Tahrir. Ini betapa cair dan dinamisnya organisasi sosial keagamaan di
Indonesia, yang sekaligus juga menandai betapa sulitnya membuat identifikasi
dan kategorisasi berdasarkan organisasi keagamaan.
Ragam gerakan dan pemikiran tersebut secara makro dan simplistis dapat
dikategorikan menjadi dua saja, yakni, Pertama, Islam yang orientasi perjuangan
dan cita-cita sosialnya menjunjung tinggi keluruhan Islam dan kaum muslimin
(’izzul Islâm wal Muslimîn), yakni “Islam eksklusif”. Dalam bacaan saya disini
yang masuk dalam kategori ini secara umum adalah organisasi DDII, LDII, FPI,
MMI, HTI, HT, Persis, dan sebagian orang Muhammadiyyah. Kedua, Islam yang
berorientasi pada kerahmatan semesta (rahmatan lil ‘âlamîn), yakni “Islam
inklusif”. Masuk dalam kategori inklusif secara umum adalah organisasi NU,
orang-orang (bukan keorganisasiannya) Muhammadiyyah, al-Washliyyah, Perti,
al-Kahirat, dan Nahdlatul Wathan.
PENUTUP
NU telah mengalami dinamika yang begitu besar sejak berdirinya tahun
1926. Namun dalam konteks kenegaraan an kebangsaan organisasi Islam terbesar di
Indonesia itu tetap konsisten mempertahankan pancasila, UUD 1945, dan NKRI. NU
behasil mendefinisikan Islam dalam koneks kebangsaan dalam paham Ahlusunnah wal
Jamaah.
Semua ini merupakan gerakan Islam di Indonesia terhadap Nahdatul Ulama.
Banyak strategi-strategi untuk kebangkitan suatu himpunan begitu pula
pergerakan NU sendiri, demi terciptanya suatu keadaan yang baik dan bagus dalam
keberagaman ideologi. Nu mempunyai gerakan yang bagus dalam kemajuan Indonesia,
ia memiliki nama atas perjuangan Indonesia sendiri. Baik dalam keorganisasian
maupun dalam perjalanannya.
DAFTAR PUSTAKA
Baso,
Ahmad. NU Studie: Pergolakan Pemikiran
antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal. (Jakarta:
Erlangga 2006).
Falakh,
Mohammad Fajrul. NU dan cita-cita masyarakat madani. (Bandung:Pikiran Rakyat,
1996).
Hasyim,
Wahid. Mengapa Memilih NU? Konsepsi tentang Agama, Pendidikan dan Politik.
(Jakarta: Inti Sarana Aksara, 1985).
http://sejarah.kompasiana.com/2011/02/11/peta-pemikiran-dan-gerakan-islam-di-indonesia
Sultan
Fatoni, Hilmi Muhammadiyah. NU: Identitas
Islam Indonesia. (Jakarta: alSAS Lembaga Studi Agama dan Sosial,2004).
Zada,
Khamami dan A. Fawaid Sjadzili. Nahdatul
Ulama: Dinamika Ideologi dan Politik kenegaraan. (Jakarta:PT Kompas Media
Nusantara, 2010).
[1] Hilmi Muhammadiyah Sultan Fatoni, NU:
Identitas Islam Indonesia, Jakarta: alSAS (Lembaga Studi Agama dan Sosial,
2004), hlm. 131
[2] Ahmad Baso, NU Studie:
Pergolakan Pemikiran antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal,(Jakarta:
Erlangga), 2006, hlm. 79
[3] Khamami Zada dan A. Fawaid Sjadzili, Nahdatul Ulama: Dinamika Ideologi dan Politik kenegaraan, (Jakarta:PT
Kompas Media Nusantara, 2010). Hlm.3
[4] Wahid Hasyim, Mengapa Memilih NU? Konsepsi tentang Agama, Pendidikan
dan Politik, (Jakarta: Inti Sarana Aksara, 1985), hlm. 103
Tidak ada komentar:
Posting Komentar