Pemilu RW

Pemilu RW

Jumat, 18 Mei 2012

Dinasti Fatimiyah


Pendahuluan
Mesir mengalami masa kemajuan yang sinifikan pada masa di bawah kekuasaan Dinasti Fatimiyyah. Dinasti ini memisahkan diri dari kekuasaan Abbasiyah di Baghdad. Karya-karya bermunculan peradaban mengalami masa kemajuan dengan banyaknya bangunan bergaya arsitektur indah. Kekuasaan Fathimiyah ini mampu menandingi Baghdad. Dinasti ini beraliran Syiah Ismailiyah. Dari sinilah Syiah berhasil memegang kekuasaan politik sejak kemunculan mereka pasca perundingan Shiffin. Selain itu keilmuan di masa ini sangatlah berkembang pesat Ilmu-ilmu agama di sini meliputi Tafsir, Hadist, Fiqih, dan Sastra. Bahkan ia berusaha mengembangkan bidang aqly seperti filsafat, matematika, dan kedokteran. Kemudian Muncul filosof seperti ar-Razi, Abu Ya’kub, Ja’far bin Manshur dsb. Dan ia telah mengarang buku tentang ilmu kedokteran  antara lain kitab Madat al-Baqa. Selain itu Daulah ini menguasai afrika utara dan memindahkan ibu kotanya ke Mesir yaitu dengan mendirikan kota kairo dan perguruan tinggi al azhar.[1]
Sejarah Kejayaan Dinasti Fatimiyyah
Dinasti ini diambil dari nama putri Nabi Muhammad, yaitu Fatimah az-Zahra. Pendirinya bernama Ubaidillah al Mahdi (amirul mu’minin). Ia mengaku berasal dari keturunan Ali bin Abi Thalib dan Istrinya Fatimah binti Muhammad saw. Dinasti ini berkuasa dari tahun 297-576 H/909-1171M. Ia berpaham “Syiah Ismailliyah”. Awal mulanya Dinasti ini lahir di Tunisia, Afrika Utara, pada tahun 909M2. Tokoh yang mempropoganda khilafah ini adalah Abu Abdullah asy-Syi’i. Dari Propoganda ini ia berhasil menghimpun pengikut dari kalangan Barbar “Sekte Kitamah”. Dan Gubernur-gubernur Aghlabiyah serta penguasa Idrisiyah di Afrika Utara berhasil ia tumbangkan. Keberhasilan ini mengilhami rencana berikutnya untuk memasuki Mesir.
Seiring dengan berkembangnya kekuasaan Fathimiyah di sekitar daerah Maghrib, timbul cita-cita besar khalifah al-Mahdi untuk menjadikan Dinastinya sebagai pemegang kekuasaan di dunia Islam kala itu sekaligus menyebarkan mazhab Syi’ah yang dipakai di kalangan Fathimiyah. Keinginan ini tentunya hanya bisa terwujud jika sanggup menaklukkan Daulah Abbasiyah di kawasan timur negeri Islam (sekitar Baghdad) yang saat itu memegang kontrol di sebagian besar daerah-daerah Islam. Untuk mewujudkan cita-cita besar tersebut, al-Mahdi segera mengatur rencana dan sebagai target awal adalah bagaimana menguasai kawasan Hijaz (Makkah dan Madinah) dan Syam (sekitar Syiria sekarang).
Menaklukkan dua kawasan tersebut tidaklah mudah, setidaknya ada dua penghalang yang dapat menggagalkan rencana khalifah Fathimiyah al-Mahdi. Pertama dari sisi pengaruh politik, kawasan Hijaz dan Syam saat itu berada dalam pengaruh kuat Ikhsyidiyah yang berpusat  di Mesir. Kedua dari sisi geografis, negeri Mesir yang menjadi pusat Daulah Ikhsyidiyah adalah negeri Abbasiyah pertama yang berbatasan langsung dengan kekuasaan Fathimiyah dan berada di antara negeri Maghrib dan kawasan Hijaz dan Syam.
Keinginan khalifah al-Mahdi untuk menaklukkan Mesir tidak dapat dibendung lagi, tiga kali penyerangan dilancarkan, serangan pertama dilancarkan pada tahun 301 H./913 M. namun serangan tersebut menemui kegagalan. Kemudian pada tahun 307 H./919 M. ia kembali mengadakan penyerangan, sayang hasilnya tetap nihil. Lalu pada tahun 321 H./933 M. ia mengirim pasukan untuk yang ketiga kalinya, usaha ini terus dilanjutkan sampai masa anaknya al-Qaim Biamrillah diangkat menjadi khalifah kedua Fathimiyah, namun hasilnya juga belum memuaskan, bahkan di sisa-sisa masa jabatan al-Qaim, ia lebih sibuk mengurusi gejolak-gejolak yang terjadi di dalam negerinya, sehingga kegiatan agresi militer ke Mesir mengalami kefakuman. Keadaan seperti ini terus berlanjut di sepanjang masa pemerintahan khalifah ketiga Bani Fathimiyah, al-Mansur Binasrillah (334 H.-341 H./945 M.-952 M.). Kondisi dalam negeri membaik ketika khalifah keempat, al-Muiz Lidinillah, naik tahta di akhir tahun 341 H./953 M. Keberhasilan dari sisi internal ini ternyata menjadikan kekuasaan Daulah Fathimiyah meluas, membentang dari barat Tripoli (Libiya sekarang) disebelah timur sampai Samudera Atlantik di sebelah barat.
Dinasti ini kemudian masuk Mesir atas komando yang bernama Jawhar as-Siqili. Pada tahun 969M. Adapun yang berkuasa di Mesir waktu itu yaitu Ikhsyidiyah berhasil di tundukan. Setelah itu ia membangun kota yang bernama al-Qahirah, yang berarti kota kemenangan, dan kemudian dijadikannya ibu kota khilafah Fatimiyah. Dan meluaskan kekuasaan samapai ke pantai Samudera Atlantik (barat Maroko sekarang).

Prestasi Gemilang pada masa Dinasti Fatimiyah
            Pada periode ini khilafah Fatimiyah berhasil mencapai puncaknya terutama pada kepemimpinan al-Muizz, al-Aziz, dan al-Hakim[2]. Puncaknya pada masa al-Aziz. Istananya berhasil manampung 30.000 tamu, masjidnya sangat mewah, perhubngan sangat lancar, dan keamanan terjamin. Perekonomian sektor perdagangan, Industri dan pertanian di kembangkan sesuai dengan perkembangan pada masa itu. Selain itu Dinasti ini berkembang pesat terutama setelah didirikannya Masjid Jami’ al-Azhar, yang berfungsi sebagai pusat pengkajian Islam dan perkembangan Ilmu pengetahuan. Bukan hanya itu masjid ini telah berubah menjadi Universitas yang tidak saja di manfaatkan oleh oang syiah melainkan juga orang sunni. Ketika masuk ke Mesir Khalifah Muizz mengatakan kedatangannya disini bukan untuk memperluas wilayah kekuasaan atau menambah kejayaan. Melainkan untuk menegakan kebenaran, menjaga jamaah Haji, menyatakan jihad melawan orang-orang kafir, mengakhiri hidup dengan bearamal Shaleh, menunaikan apa yang diperintah oleh nenek moyangnya yaitu Nabi Muhammad saw.
Pada masa “al-Muizz” ia berusaha keras meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan memperbaiki sistem perpajakan, meningkatkan keamanan, memajukan pertanian, perdagangan, kerajinan, dan menegakan keadilan dengan tetap memberi toleransi kepada seluruh anggota masyarakat. Pada masa itu al-Muizz mengenalkan paham Syiah dan mengadakan enam perayaan maulid, yaitu Nabi Muhammad, Fatimah, Hasan Husen, dan Khalifah yang sedang berkuasa. Khalifah Muizz hanya dua tahun berkuasa di Mesir. Ia wafat pada tahun 365/975M.
Setelah al-Muizz wafat, “al-Aziz” menggantikannya dengan usia 20 Tahun. Pada masa ini Fatimiyah sudah mempunyai angkatan laut di Laut tengah sebelah timur. Pada masa al-Aziz ia banyak melakukan usaha-usaha penting dalam kebudayaan dan kemasyarakatan. Dialah yang membangun Jami’ yang kemudian di sempurnakan oleh anaknya, ia membangun perpustakaan besar dalam istana yang memiliki satu juta buku dalam berbagai ilmu dan mengubah Jami’ al-Azhar menjadi Universitas. Ia terkenal toleran terhadap ahlu zimmah (orang kafir yang mendapatkan keamanan dari pihak muslim) sehingga ia mengawini dua orang Masehi dan mengangkat Ya’kub sebagai salah satu menterinya. Al-Aziz wafat pada tahun 368/996M. Ibnu Khaldun menyebutkan bahwa ia wafat karena dokter pribadinya salah memberikan obat.
Setelah al-Muiz wafat, “al-Hakim” menggantikan kekuasaannya, pada usia 11 tahun. Ia memangku jabatan itu di dampingi dengan Barjuan menjadi Guru dan Pendidiknya. Sekitar Empat tahun Barjuan menggelari dirinya Amin ad-Dawlah (Kepercayaan Kerajaan) berlaku diktator tanpa memperdulikan khalifah. Sebagaimana yang di katakan Hasan Ibrahim bahwa al-Hakim sama sekali tidak mempunyai kekuasaan, sedangkan kekuasaan sepenuhnya berada di tangan Barjuan. Sehingga membuat al-Hakim ingin lepas dari gurunya lalu membunuhnya.
Dalam kepemimpinannya ia terkenal mempunyai kepribadian yang unik, penuh misteri dan menarik. Ada yang berkata al-Hakim mempunyai kelainan dalam dirinya, dan ada juga yang menganggap pikirannya labil. Ia selalu bergaul dengan rakyat di jalan-jalan dan di pasar-pasar, berusaha mendengarkan keluhan mereka dan berusaha untuk memecahkan masalahya. Dalam usia 20 tahun ia mendirikan Da al-Hikmah. Yang menjadi pusat kajian ilmiah tingkat tinggi. Di tempat ini al-Hakim mengumpulan ilmuwan-ilmuwan terbaik dari berbagai bidang. Kegiatan ini tampaknya meniru apa yang ada di Baiat al-Hikmah Baghdad tanpa menambah kepentingan politik dan aliran. Selain itu al-Hakim juga menyediakan sebuah fasilitas Perpustakaan besar yang disebut Dar al-ilm yang mempunyai buku 600.000 jilid[3].  
Pada tahun 400 H, al-Hakim memutuskan untuk hidup berzuhud makan minum sedikit, menutup dapur rumah tangga khalifah, melarang menyebutnya maulana, meninggalkan kebiasaan naik kuda dan menggantikan naik himar, ia juga membebaskan budak wanita dan perempuan, dsb. Ia membunuh gurunya, Barjuan, panglima angkatan perangnya (al-Husain bin Jauhar), hakimnya (Abdul Aziz), panglima perangnya (Al Fadhil), kepala polisinya (Ghalb bin Malik), hakimnya para hakim (Malik bin Sa’id). Yang lebih lucunya lagi ia membuat larangan untuk menjual mulukiyyah (jenis sayuran) karena muwiyyah menyukainya, Memerintah agar bekerja malam hari dan tidur siang hari, malarang menanam pohon anggur karena ia tidak senang minuman keras. Dari sinilah al-Haim terlihat misterius sampe hal kematiannya ia terbunuh di atas himarnya dimana bajunya berlumuran darah sedangkan pembunuhannya tidak di ketahui oleh siapapun.
Kemudian kekuasaan di lanjutkan oleh adz-Dzahir pada tahun 411 H. Ia banyak menghapus undang-undang yang di anggap kurang sesuai dan banyak mencurahkan perhatian terhadap kaum tani, namun ia mendapat hambatan karena sungai Nil kekeringan sehingga terjadi pemberontakan di Syirah, namun kejadian itu dapat di padamkan. Ia wafat pada tahun 427H/1035M. Dilanjutkan oleh anaknya yang bernama al-Mustanhir yang berusia 7 tahun. Oleh karena itu pemerintahannya panjang sampai 60 tahun. Pada masa ini mulailah terjadi perubahan dan pada masa inilah terjadi perpindahan kekuasaan dari tangan khilafah ke tangan menteri. Pada masa anak-anak kekuasaan berada di tangan menteri dan ketika beranjak dewasa timbul beberapa konflik yang terdiri beberapa etnis yakni Barbar yang menjadi tulang punggung Fatimiyah, Turki yang menjadi unsur penting al-Aziz, arab yang menjadi unsur ketiga dan sudan yang memegang jabatan karena ibunya Mustanshir adalah keturunan Sudan.
Sejak saat itulah khalifah hanya sebagai lambang saja dan sepenuhnya di pegang menterinya. Diantara menteri yang sangat berjasa yaitu “Yashuri” yang mana telah menguasai gudang makanan dan membuat undang-undang tentang pembagian makanan kepada rakyat. Al-Mustanhir wafat pada tahun 484H/1094M. Ada enam khalifah lagi. Akan tetapi, Khalifah setelahnya kurang mempunyai peran di Dinasti Fatimiyah. Adapun nama-nama Khalifah pada Dinasti Fatimiyah antara lain:
Nama Khalifah
Tahun Jabatan
Wafat
Ubaidillah al-Mahdi
Al-Qaim
Al-Manshur
Al-Muizz
Al-Aziz
Al-Hakim
Adz-Zhahir
Al-Mustanhir
Al-Musta’ali
Al-Amir
Masa peralihan Pemerintahan Diperintahkan oleh al Hafiz sebagai wali namun bukan sebagai Khalifah.
Al-Hafiz
Azh-Zhafir
Al-Faiz
Al-Adhid
Penaklukan Ayyubiyah
297H/909M
322H/924M
334H/946M
341H/953M
365/975M
386H/996M
411H/1021M
427H/1036M
487H/1094M
495H/1101M
524H/1130M



525H/1131M
544H/1149M
549H/1154M
555H-567M/1160H-1171M



365H/975M
368H/996M
411H/1021M
427H/1037M
484H/1094M
491H/1101M
525H/1130M











Kelemahan dan Keruntuhan Fatimiyah
Banyak Faktor yang menyebabkan Khilafah Fatimiyah Mundur dan kemudian hancur setelah menguasai dunia Isam dalam waktu yang relatif lama. Faktor-faktor tersebut antara lain:
  1. Politik Fatimiyah yang keras terhadap Masyarakat Sunni Mesir untuk menganut dan mengakui ajaran Syiah.
Ini terjadi pada saat khalifah Aziz dan Khilafah Hakim, di Khilafah Aziz ia pernah membatalkan shalat Tarawih di seluruh masjid pada tahun 372H. Sementara pada masa Hakim ia pernah menyuruh algojonya untuk membunuh yang tidak mengakui keistimewaan Ali. Bahakan Hakim pernah mengaku dirinya sebagai Tuhan.[4]
  1. Peran Khalifah tidak berfungsi secara utuh
Ini terjadi di masa khilafah Hakim dan al-Mustanshir. Diantara khilafah fathimiyah ada yang diangkat pada saat usia masih anak-anak. Seperti Pada masa Hakim ia di angkat saat umur 11 tahun bahkan Mustanshir diangkat saat usia 7 tahun. Pada masa Hakim ia memakai pendamping Guru dan Pendidiknya yang bernama Barjuan akan tetapi Barjuan menguasai kekuasaan itu dan bertindak diktator dengan kekuasaannya.
  1. Persaingan dan perebutan kekuasaan dalam menduduki kursi wazir khalifah.
Ini terjadi saat masa khalifah al-Mustanshir, dari ketiga etnis yang telah dibahas di atas ingin memperebutkan kursi wazir khalifah. Yang lebih nyata lagi saat khalifah al-Adhid berkuasa. Ini dipicu saat al-Adhid membunuh ibnu Ruzik.
  1. Terjadinya pemberontakan di Mesir dan disekitarnya.
Ini terjadi saat al-Muntashir berkuasa ketika perselisihan para jenderal dan wazir. Khalifah ini tidak berhasil mengatasi kemelut masalah ini sehingga mulailah kelihatan kelemahan pemimpin ini. Dan lalu pada tahun 465H/1073M mendatangkan Badr al-Jamali sorang jenderal yang kuat dan berpengaruh dari suku armenia dan menetapkannya sebagai wazir.
  1. Lemahnya perekonomian Rakyat dan Negara
Ini terjadi saat sungai Nil kekeringan, yang mana ini terjadi saat khilafah Mustanshir juga. Akibatnya panen hancur, kelaparan meluas, dan wabah penyakit menyebar tanpa bisa di cegah. Kondisi perekonomian rakyat semakin lumpuh kestabilan politik menjadi rapuh, kriminalitas terjadi di mana-mana, dan ini berdampak pada kehancuran Negara.
Kesimpulan
Setelah adanya penelurusuran ini dapat disimpulkan bahwa Daulah ini banyak memiliki kekurangan yang tak dapat diselesaikan, seperti halnya terdapat kekurangan seorang penguasa di pimpin oleh anak dibawah umur yang mana seharusnya seorang anak itu masih memiliki sifat untuk bermain-main dansusah bila langsung diajak untuk serius. Anak-anak di umur ini masih dapat terpengaruh dengan omongan-omongan yang yang seharusnya tidak perlu di dengar ini terjadi pada saat penguasa al Hakim ia terpengaruh oleh orang lain sehingga ia tega membenuh gurunya sendiri. 















DAFTAR PUSTAKA
v  Montgomery, W Watt. Kejayaan Islam. Terj. Hartono Hadikumoro Yogyakarta: Tiara Wacana. 1990.
v  Sunanto, Musyrifah. Sejarah Islam Klasik: perkembangan ilmu pengetahuan islam. Jakarta: Prenada Media. 2003.
v  Saefudin Buchori, Didin. Sejarah Politik Islam. Jakarta: Pustaka Intermasa IKAPI, 2009.
v  Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. ed.1,cet.3. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.1995.




[1] Musyrifah Sunanto,. Sejarah Islam Klasik: perkembangan ilmu pengetahuan islam. (Jakarta: Prenada Media. 2003), H. 68

[2] Prof. Didin Saefudin Buchori, Sejarah Politik Islam, (Jakarta: Pustaka Intermasa IKAPI, 2009), h. 146
[3] Ibid, h. 153
[4] W Montgomery Watt, Kejayaan Islam, Terj. Hartono Hadikumoro (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), h.253 

Tidak ada komentar: