Pendahuluan
Mesir
mengalami masa kemajuan yang sinifikan pada masa di bawah kekuasaan Dinasti
Fatimiyyah. Dinasti ini memisahkan diri dari kekuasaan Abbasiyah di Baghdad.
Karya-karya bermunculan peradaban mengalami masa kemajuan dengan banyaknya
bangunan bergaya arsitektur indah. Kekuasaan Fathimiyah ini mampu menandingi
Baghdad. Dinasti ini beraliran Syiah Ismailiyah. Dari sinilah Syiah berhasil
memegang kekuasaan politik sejak kemunculan mereka pasca perundingan Shiffin.
Selain itu keilmuan di masa ini sangatlah berkembang pesat Ilmu-ilmu agama di
sini meliputi Tafsir, Hadist, Fiqih, dan Sastra. Bahkan ia berusaha
mengembangkan bidang aqly seperti
filsafat, matematika, dan kedokteran. Kemudian Muncul filosof seperti ar-Razi, Abu
Ya’kub, Ja’far bin Manshur dsb. Dan ia telah mengarang buku tentang ilmu kedokteran
antara lain kitab Madat al-Baqa. Selain itu Daulah ini menguasai
afrika utara dan memindahkan ibu kotanya ke Mesir yaitu dengan mendirikan kota
kairo dan perguruan tinggi al azhar.[1]
Sejarah Kejayaan Dinasti Fatimiyyah
Dinasti
ini diambil dari nama putri Nabi Muhammad, yaitu Fatimah az-Zahra. Pendirinya
bernama Ubaidillah al Mahdi (amirul
mu’minin). Ia mengaku berasal dari keturunan Ali bin Abi Thalib dan
Istrinya Fatimah binti Muhammad saw. Dinasti ini berkuasa dari tahun 297-576
H/909-1171M. Ia berpaham “Syiah Ismailliyah”. Awal mulanya Dinasti ini lahir di
Tunisia, Afrika Utara, pada tahun 909M2. Tokoh yang mempropoganda
khilafah ini adalah Abu Abdullah asy-Syi’i. Dari Propoganda ini ia berhasil menghimpun
pengikut dari kalangan Barbar “Sekte Kitamah”. Dan Gubernur-gubernur Aghlabiyah
serta penguasa Idrisiyah di Afrika Utara berhasil ia tumbangkan. Keberhasilan
ini mengilhami rencana berikutnya untuk memasuki Mesir.
Seiring dengan berkembangnya kekuasaan Fathimiyah di sekitar
daerah Maghrib, timbul cita-cita besar khalifah al-Mahdi untuk menjadikan
Dinastinya sebagai pemegang kekuasaan di dunia Islam kala itu sekaligus
menyebarkan mazhab Syi’ah yang dipakai di kalangan Fathimiyah. Keinginan ini
tentunya hanya bisa terwujud jika sanggup menaklukkan Daulah Abbasiyah di
kawasan timur negeri Islam (sekitar Baghdad) yang saat itu memegang kontrol di
sebagian besar daerah-daerah Islam. Untuk mewujudkan cita-cita besar tersebut,
al-Mahdi segera mengatur rencana dan sebagai target awal adalah bagaimana
menguasai kawasan Hijaz (Makkah dan Madinah) dan Syam (sekitar Syiria
sekarang).
Menaklukkan dua kawasan tersebut
tidaklah mudah, setidaknya ada dua penghalang yang dapat menggagalkan rencana
khalifah Fathimiyah al-Mahdi. Pertama dari sisi pengaruh politik, kawasan Hijaz
dan Syam saat itu berada dalam pengaruh kuat Ikhsyidiyah yang berpusat di
Mesir. Kedua dari sisi geografis, negeri Mesir yang menjadi pusat Daulah Ikhsyidiyah
adalah negeri Abbasiyah pertama yang berbatasan langsung dengan kekuasaan
Fathimiyah dan berada di antara negeri Maghrib dan kawasan Hijaz dan Syam.
Keinginan
khalifah al-Mahdi untuk menaklukkan Mesir tidak dapat dibendung lagi, tiga kali
penyerangan dilancarkan, serangan pertama dilancarkan pada tahun 301 H./913 M.
namun serangan tersebut menemui kegagalan. Kemudian pada tahun 307 H./919 M. ia
kembali mengadakan penyerangan, sayang hasilnya tetap nihil. Lalu pada tahun
321 H./933 M. ia mengirim pasukan untuk yang ketiga kalinya, usaha ini terus
dilanjutkan sampai masa anaknya al-Qaim Biamrillah diangkat menjadi khalifah
kedua Fathimiyah, namun hasilnya juga belum memuaskan, bahkan di sisa-sisa masa
jabatan al-Qaim, ia lebih sibuk mengurusi gejolak-gejolak yang terjadi di dalam
negerinya, sehingga kegiatan agresi militer ke Mesir mengalami kefakuman. Keadaan
seperti ini terus berlanjut di sepanjang masa pemerintahan khalifah ketiga Bani
Fathimiyah, al-Mansur Binasrillah (334 H.-341 H./945 M.-952 M.). Kondisi dalam
negeri membaik ketika khalifah keempat, al-Muiz Lidinillah, naik tahta di akhir
tahun 341 H./953 M. Keberhasilan dari sisi internal ini ternyata menjadikan
kekuasaan Daulah Fathimiyah meluas, membentang dari barat Tripoli (Libiya
sekarang) disebelah timur sampai Samudera Atlantik di sebelah barat.
Dinasti ini kemudian masuk Mesir
atas komando yang bernama Jawhar as-Siqili. Pada tahun 969M. Adapun yang
berkuasa di Mesir waktu itu yaitu Ikhsyidiyah berhasil di tundukan. Setelah itu
ia membangun kota yang bernama al-Qahirah, yang berarti kota kemenangan, dan kemudian
dijadikannya ibu kota khilafah Fatimiyah. Dan meluaskan kekuasaan samapai ke pantai Samudera Atlantik (barat
Maroko sekarang).
Prestasi Gemilang pada masa Dinasti
Fatimiyah
Pada periode ini khilafah Fatimiyah berhasil
mencapai puncaknya terutama pada kepemimpinan al-Muizz, al-Aziz, dan al-Hakim[2].
Puncaknya pada masa al-Aziz. Istananya berhasil manampung 30.000 tamu,
masjidnya sangat mewah, perhubngan sangat lancar, dan keamanan terjamin.
Perekonomian sektor perdagangan, Industri dan pertanian di kembangkan sesuai
dengan perkembangan pada masa itu. Selain itu Dinasti ini berkembang pesat terutama
setelah didirikannya Masjid Jami’ al-Azhar, yang berfungsi sebagai pusat
pengkajian Islam dan perkembangan Ilmu pengetahuan. Bukan hanya itu masjid ini
telah berubah menjadi Universitas yang tidak saja di manfaatkan oleh oang syiah
melainkan juga orang sunni. Ketika masuk ke Mesir Khalifah Muizz mengatakan
kedatangannya disini bukan untuk memperluas wilayah kekuasaan atau menambah kejayaan.
Melainkan untuk menegakan kebenaran, menjaga jamaah Haji, menyatakan jihad
melawan orang-orang kafir, mengakhiri hidup dengan bearamal Shaleh, menunaikan
apa yang diperintah oleh nenek moyangnya yaitu Nabi Muhammad saw.
Pada
masa “al-Muizz” ia berusaha keras meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan
memperbaiki sistem perpajakan, meningkatkan keamanan, memajukan pertanian,
perdagangan, kerajinan, dan menegakan keadilan dengan tetap memberi toleransi
kepada seluruh anggota masyarakat. Pada masa itu al-Muizz mengenalkan paham
Syiah dan mengadakan enam perayaan maulid, yaitu Nabi Muhammad, Fatimah, Hasan
Husen, dan Khalifah yang sedang berkuasa. Khalifah Muizz hanya dua tahun
berkuasa di Mesir. Ia wafat pada tahun 365/975M.
Setelah
al-Muizz wafat, “al-Aziz” menggantikannya dengan usia 20 Tahun. Pada masa ini
Fatimiyah sudah mempunyai angkatan laut di Laut tengah sebelah timur. Pada masa
al-Aziz ia banyak melakukan usaha-usaha penting dalam kebudayaan dan
kemasyarakatan. Dialah yang membangun Jami’
yang kemudian di sempurnakan oleh anaknya, ia membangun perpustakaan besar
dalam istana yang memiliki satu juta buku dalam berbagai ilmu dan mengubah
Jami’ al-Azhar menjadi Universitas. Ia terkenal toleran terhadap ahlu zimmah (orang kafir yang mendapatkan
keamanan dari pihak muslim) sehingga ia mengawini dua orang Masehi dan
mengangkat Ya’kub sebagai salah satu menterinya. Al-Aziz wafat pada tahun
368/996M. Ibnu Khaldun menyebutkan bahwa ia wafat karena dokter pribadinya
salah memberikan obat.
Setelah
al-Muiz wafat, “al-Hakim” menggantikan kekuasaannya, pada usia 11 tahun. Ia
memangku jabatan itu di dampingi dengan Barjuan menjadi Guru dan Pendidiknya.
Sekitar Empat tahun Barjuan menggelari dirinya Amin ad-Dawlah (Kepercayaan
Kerajaan) berlaku diktator tanpa memperdulikan khalifah. Sebagaimana yang di
katakan Hasan Ibrahim bahwa al-Hakim sama sekali tidak mempunyai kekuasaan,
sedangkan kekuasaan sepenuhnya berada di tangan Barjuan. Sehingga membuat
al-Hakim ingin lepas dari gurunya lalu membunuhnya.
Dalam
kepemimpinannya ia terkenal mempunyai kepribadian yang unik, penuh misteri dan
menarik. Ada yang berkata al-Hakim mempunyai kelainan dalam dirinya, dan ada
juga yang menganggap pikirannya labil. Ia selalu bergaul dengan rakyat di
jalan-jalan dan di pasar-pasar, berusaha mendengarkan keluhan mereka dan
berusaha untuk memecahkan masalahya. Dalam usia 20 tahun ia mendirikan Da
al-Hikmah. Yang menjadi pusat kajian ilmiah tingkat tinggi. Di tempat ini
al-Hakim mengumpulan ilmuwan-ilmuwan terbaik dari berbagai bidang. Kegiatan ini
tampaknya meniru apa yang ada di Baiat
al-Hikmah Baghdad tanpa menambah kepentingan politik dan aliran. Selain itu
al-Hakim juga menyediakan sebuah fasilitas Perpustakaan besar yang disebut Dar al-ilm yang mempunyai buku 600.000
jilid[3].
Pada
tahun 400 H, al-Hakim memutuskan untuk hidup berzuhud makan minum sedikit,
menutup dapur rumah tangga khalifah, melarang menyebutnya maulana, meninggalkan
kebiasaan naik kuda dan menggantikan naik himar, ia juga membebaskan budak
wanita dan perempuan, dsb. Ia membunuh gurunya, Barjuan, panglima angkatan
perangnya (al-Husain bin Jauhar), hakimnya (Abdul Aziz), panglima perangnya (Al
Fadhil), kepala polisinya (Ghalb bin Malik), hakimnya para hakim (Malik bin
Sa’id). Yang lebih lucunya lagi ia membuat larangan untuk menjual mulukiyyah (jenis sayuran) karena
muwiyyah menyukainya, Memerintah agar bekerja malam hari dan tidur siang hari,
malarang menanam pohon anggur karena ia tidak senang minuman keras. Dari
sinilah al-Haim terlihat misterius sampe hal kematiannya ia terbunuh di atas
himarnya dimana bajunya berlumuran darah sedangkan pembunuhannya tidak di
ketahui oleh siapapun.
Kemudian
kekuasaan di lanjutkan oleh adz-Dzahir pada tahun 411 H. Ia banyak menghapus
undang-undang yang di anggap kurang sesuai dan banyak mencurahkan perhatian
terhadap kaum tani, namun ia mendapat hambatan karena sungai Nil kekeringan
sehingga terjadi pemberontakan di Syirah, namun kejadian itu dapat di padamkan.
Ia wafat pada tahun 427H/1035M. Dilanjutkan oleh anaknya yang bernama al-Mustanhir
yang berusia 7 tahun. Oleh karena itu pemerintahannya panjang sampai 60 tahun.
Pada masa ini mulailah terjadi perubahan dan pada masa inilah terjadi
perpindahan kekuasaan dari tangan khilafah ke tangan menteri. Pada masa
anak-anak kekuasaan berada di tangan menteri dan ketika beranjak dewasa timbul
beberapa konflik yang terdiri beberapa etnis yakni Barbar yang menjadi tulang
punggung Fatimiyah, Turki yang menjadi unsur penting al-Aziz, arab yang menjadi
unsur ketiga dan sudan yang memegang jabatan karena ibunya Mustanshir adalah
keturunan Sudan.
Sejak
saat itulah khalifah hanya sebagai lambang saja dan sepenuhnya di pegang
menterinya. Diantara menteri yang sangat berjasa yaitu “Yashuri” yang mana
telah menguasai gudang makanan dan membuat undang-undang tentang pembagian
makanan kepada rakyat. Al-Mustanhir wafat pada tahun 484H/1094M. Ada enam
khalifah lagi. Akan tetapi, Khalifah setelahnya kurang mempunyai peran di
Dinasti Fatimiyah. Adapun nama-nama Khalifah pada Dinasti Fatimiyah antara
lain:
Nama
Khalifah
|
Tahun Jabatan
|
Wafat
|
Ubaidillah al-Mahdi
Al-Qaim
Al-Manshur
Al-Muizz
Al-Aziz
Al-Hakim
Adz-Zhahir
Al-Mustanhir
Al-Musta’ali
Al-Amir
Masa peralihan Pemerintahan
Diperintahkan oleh al Hafiz sebagai wali namun bukan sebagai Khalifah.
Al-Hafiz
Azh-Zhafir
Al-Faiz
Al-Adhid
Penaklukan Ayyubiyah
|
297H/909M
322H/924M
334H/946M
341H/953M
365/975M
386H/996M
411H/1021M
427H/1036M
487H/1094M
495H/1101M
524H/1130M
525H/1131M
544H/1149M
549H/1154M
555H-567M/1160H-1171M
|
365H/975M
368H/996M
411H/1021M
427H/1037M
484H/1094M
491H/1101M
525H/1130M
|
Kelemahan
dan Keruntuhan Fatimiyah
Banyak Faktor yang
menyebabkan Khilafah Fatimiyah Mundur dan kemudian hancur setelah menguasai
dunia Isam dalam waktu yang relatif lama. Faktor-faktor tersebut antara lain:
- Politik
Fatimiyah yang keras terhadap Masyarakat Sunni Mesir untuk menganut dan
mengakui ajaran Syiah.
Ini
terjadi pada saat khalifah Aziz dan Khilafah Hakim, di Khilafah Aziz ia pernah
membatalkan shalat Tarawih di seluruh masjid pada tahun 372H. Sementara pada
masa Hakim ia pernah menyuruh algojonya untuk membunuh yang tidak mengakui
keistimewaan Ali. Bahakan Hakim pernah mengaku dirinya sebagai Tuhan.[4]
- Peran
Khalifah tidak berfungsi secara utuh
Ini
terjadi di masa khilafah Hakim dan al-Mustanshir. Diantara khilafah fathimiyah
ada yang diangkat pada saat usia masih anak-anak. Seperti Pada masa Hakim ia di
angkat saat umur 11 tahun bahkan Mustanshir diangkat saat usia 7 tahun. Pada
masa Hakim ia memakai pendamping Guru dan Pendidiknya yang bernama Barjuan akan
tetapi Barjuan menguasai kekuasaan itu dan bertindak diktator dengan
kekuasaannya.
- Persaingan
dan perebutan kekuasaan dalam menduduki kursi wazir khalifah.
Ini
terjadi saat masa khalifah al-Mustanshir, dari ketiga etnis yang telah dibahas
di atas ingin memperebutkan kursi wazir khalifah. Yang lebih nyata lagi saat
khalifah al-Adhid berkuasa. Ini dipicu saat al-Adhid membunuh ibnu Ruzik.
- Terjadinya
pemberontakan di Mesir dan disekitarnya.
Ini
terjadi saat al-Muntashir berkuasa ketika perselisihan para jenderal dan wazir.
Khalifah ini tidak berhasil mengatasi kemelut masalah ini sehingga mulailah
kelihatan kelemahan pemimpin ini. Dan lalu pada tahun 465H/1073M mendatangkan
Badr al-Jamali sorang jenderal yang kuat dan berpengaruh dari suku armenia dan
menetapkannya sebagai wazir.
- Lemahnya
perekonomian Rakyat dan Negara
Ini
terjadi saat sungai Nil kekeringan, yang mana ini terjadi saat khilafah
Mustanshir juga. Akibatnya panen hancur, kelaparan meluas, dan wabah penyakit
menyebar tanpa bisa di cegah. Kondisi perekonomian rakyat semakin lumpuh
kestabilan politik menjadi rapuh, kriminalitas terjadi di mana-mana, dan ini
berdampak pada kehancuran Negara.
Kesimpulan
Setelah
adanya penelurusuran ini dapat disimpulkan bahwa Daulah ini banyak memiliki
kekurangan yang tak dapat diselesaikan, seperti halnya terdapat kekurangan
seorang penguasa di pimpin oleh anak dibawah umur yang mana seharusnya seorang
anak itu masih memiliki sifat untuk bermain-main dansusah bila langsung diajak
untuk serius. Anak-anak di umur ini masih dapat terpengaruh dengan
omongan-omongan yang yang seharusnya tidak perlu di dengar ini terjadi pada
saat penguasa al Hakim ia terpengaruh oleh orang lain sehingga ia tega membenuh
gurunya sendiri.
DAFTAR
PUSTAKA
v Montgomery,
W Watt. Kejayaan Islam. Terj. Hartono Hadikumoro Yogyakarta:
Tiara Wacana. 1990.
v Sunanto,
Musyrifah. Sejarah Islam Klasik:
perkembangan ilmu pengetahuan islam. Jakarta: Prenada Media. 2003.
v Saefudin
Buchori, Didin. Sejarah Politik Islam.
Jakarta: Pustaka Intermasa IKAPI, 2009.
v Yatim,
Badri. Sejarah Peradaban Islam.
ed.1,cet.3. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.1995.
[1] Musyrifah Sunanto,. Sejarah Islam Klasik: perkembangan ilmu
pengetahuan islam. (Jakarta: Prenada Media. 2003), H. 68
[2]
Prof. Didin Saefudin Buchori, Sejarah
Politik Islam, (Jakarta: Pustaka Intermasa IKAPI, 2009), h. 146
[3]
Ibid, h. 153
[4]
W Montgomery Watt, Kejayaan Islam, Terj. Hartono Hadikumoro (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1990), h.253
Tidak ada komentar:
Posting Komentar