Pemilu RW

Pemilu RW

Kamis, 20 Januari 2011

Islam dan Pasca Revolusi

Perjalanan Revolusi di Indonesia
Revolusi menciptakan atmosfer amarah dan ketakutan, karena itu sulit untuk berpikir jernih. Sehingga sedikit sekali tokoh yang punya konsep dan langkah strategis meyakinkan guna mengendalikan kecamuk revolusi. Saat itu, ada dua orang dengan pemikirannya yang populer kemudian dianut banyak kalangan pejuang republik: Tan Malaka dan Sutan Syahrir. Dua tokoh pergerakan kemerdekaan yang dinilai steril dari noda kolaborasi dengan Pemerintahan Fasis Jepang, meski kemudian bertentangan jalan dalam memperjuangan kedaulatan republik.
Rezim pemerintahan jepang yang sangat represif bertahan sampai tiga setengah tahun. Semua sumber daya, baik kekayaan alam maupun tenaga manusia hanya di kerahkan untuk perang “Asia Timur Raya”. Tahun demi tahun Indonesia mengalami hal yang sangat perubahan yang sangat drastic dan menyusul pada tahun 1945-1950 Indonesia telah merdeka akan tetapi Belanda ingin merebut kembali dan berkuasa di kepulauan Nusantara Indonesia. Dan akhirnya pada tahun 1949 Belanda menyerahkan kekuasaannya kepada Indonesia secara keseluruhan. Dari sinilah kelompok Islam sedikit demi sedikit memperlihatkan kekuatannya yang besar dalam diskursus politik nasional.
Datanglah Masyumi atau Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia yang di bentuk pada 7 November 1945 di Jogjakarta. Masyumi merupakan wakil partai politik satu-satunya dengan tujuan sebagai partai politik yang dimiliki oleh umat Islam dan sebagai partai penyatu umat Islam dalam bidang politik. Ia berhasil menarik jumlah pengikut dengan jumlah yang sangat besar, yang pada saat itu ia merupakan dari kaum modernis seperti Muhamadiyah dan kaum ortodoks dari Nahdatul Ulama (NU). NU adalah salah satu organisasi massa Islam yang sangat berperan dalam pembentukan Masyumi. Tokoh NU, KH Hasyim Asy'arie, terpilih sebagai pimpinan tertinggi Masyumi pada saat itu. Masyumi memiliki suara yang paling nyata dari tahun 1946-1951. Bahkan Herbert Feith menyatakan masyumi akan memperoleh suara Mutlak terbesar di beberapa daerah di Jawa pada 1946 khususnya di Daerah Istimewa Jogjakarta pada 1951 atau paling tidak mempunyai suara lebih di bandingkan suara kontestan manapun. Maka dari itu Masyumi di harapkan tampil sebagai partai terkuat pada pemilu nasional.
Ada beberapa catatan tentang perkembangan partai politik yang semakin kuat pada pasca revolusi ini. Yang pertama, pada Bulan Agustus 1950 partai politik telah mendapat penyegaran kembali dari kelesuan tahun 1949. Seperti masyumi menduduki 49 kursi di Parlemen. Kedua, Masyumi diminta menjadi memimpin demokrasi konstitusional pada tahun 1950-1957, tiga kabinetnya yang terpercayakan oleh masyumi yaitu : Kabinet Natsir pada tahun 1950-1951, Kabinet Sukiman pada tahun 1951-1952, Kabinet Burhanudin Harahap pada tahun 1955-1956. Lambat laun Nahdlatul Ulama kemudian keluar dari Masyumi[1] dan NU hanya menjadi partai koalisi dari Masyumi dan PNI. Tahun demi tahun pasca revolusi berjalan dengan stabil dan kritik terang-terangan terhadap ideology dan dasar Negara (Pancasila) oleh para pemikir politik sudah jarang terjadi, semua ini dikarenakan Mohammad Natsir menyatakan Ideologi Negara telah di masukkan prinsip percaya kepada tuhan yang terdapat pada sila pertama, semua ini agar Negara tidak menyingkirkan agama dari masalah kenegaraan.
Meskipun semua ini berjalan stabil akan tetapi perlu di ingat Indonesia pada saat itu masih sangat lemah. Pertama Indonesia telah jatuh dalam kualitas kemampuan kontrol sosialnya baik dalam mengatur dan pendistribusiannya SDM yang ada. Sehingga timbullah gejolak social-politik yang mana merepotkan kepemimpinan Nasional seperti gejolak adanya pemberontakan Darul Islam (DI), Pemerintahan Revolusioner (PRRI), dan Perjuangan Semesta Alam (Permesta). 

Pasca Perjanjian Renville
Sebagai hasil Persetujuan Renville, pihak Republik harus mengosongkan enclave (kantong-kantong) yang dikuasai TNI, dan pada bulan Februari 1948, Divisi Siliwangi hijrah ke Jawa Tengah. Tidak semua pejuang Republik yang tergabung dalam berbagai laskar, seperti Barisan Bambu Runcing dan Laskar Hizbullah/Sabillilah di bawah pimpinan Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo, tidak mematuhi hasil Persetujuan Renville tersebut. Mereka terus melakukan perlawanan bersenjata terhadap tentara Belanda dan menyerukan jihad (Perang Suci) terhadap Belanda. Setelah Soekarno dan Hatta ditangkap di Yogyakarta, S.M. Kartosuwiryo, yang menolak jabatan Menteri Muda Pertahanan dalam Kabinet Amir Syarifuddin, Menganggap Negara Indonesia telah Kalah dan Bubar[2], kemudian ia mendirikan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang mana lahir di Jawa Barat di sebabkan oleh ketidak setujuan Kartosuwiryo terhadap para pemimpin Republik Indonesia dari pada kesadaran teologis politisnya. Dan mereka mengklaim secara de facto Jawa Barat adalah wilayah mereka. Hingga pada 7 Agustus 1949, di wilayah yang masih dikuasai Belanda waktu itu, Kartosuwiryo menyatakan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII). Pernyataan tersebut lahir sebagai alternative terhadap Republic Indonesia (Yogyakarta).dan setelah itu terjadilah konflik akibat pelanggaran batas wilayah tersebut, sehingga mengakibatkan banyak anggota sipil dan angkatan bersenjata Republik Indonesia yang Tewas serta kerugian material sampai dengan 650 Juta rupiah.

Revolusi yang tiada henti di Indonesia
Tidak hanya sampai sini masa revolusi berjalan dengan baik, pemberontakkan juga terjadi di Sulawesi selatan yang mana semua ini bermula pada kebijakan militer pemerintah pusat yang tidak dapat di terima oleh tentara gerilyawan di wilayah tersebut. Lama masalah ini tidak membuahkan hasil lalu mereka ikut gabung dan memimpin perlawanan bekas gerilyawan yang mempunyai kesatuan militer yang terpisah. Setelah beberapa lama kemudian perlawanan militer ini menjadi pemisahan politik secara terang-terangan dari konsep dasar Negara kesatuan menjadi bagian dari NII-nya Kartosuwiryo.
Serta konflik yang paling nyata akan kelemahan Indonesia pada masa revolusi adalah pemberontakan rakyat aceh. Yang mana Negara tidak mampu mempenetrasi masyarakat di wilayah ini terutama pada masa-masa 1945-1949, membuat pemerintah rentan dalam menanggapi tuntutan rakyat aceh. Dalam buku Nazarudin Sjamsudin The Republikan Revolt dikutip dari buku Islam dan Negara, “Bahwa revolusi nasional memungkinkan masyarakat Aceh mendapatkan kembali otonomi mereka dalam bidang social, ekonomi, dan politik. Semua ini dikarenakan pemerintah pusat tidak mampu untuk ikut campur tangan dalam persoalan-persoalan lokal rakyat aceh. dan kenyataan bahwa masyarakat aceh berhasil menghalau kolonial belanda untuk menduduki kembali wilayah mereka memperkuat rasa otonom tersebut”. Pemberontakan demi pemberontakan terjadi, akhirnya pada tahun 1950 Aceh diakui sebagai daerah istimewa yang otonom terutama dalam masalah keagamaan, adat dan pendidikan dengan syarat otonom tersebut tidak bertentangan dengan konstitusi.
Terlepas dari masalah-masalah pemberontakan regional yang di kibarkan di bawah bendera Islam. Hubungan antara Islam dan Negara pada dasarnya baik yang mana Pancasila dijadikan sebagai ideology yang mana tidak di harapkan memisahkan agama dan Negara. Maka dari itu di masukkanlah pernyataan monoteistik yang berbunyi pada sila pertama ketuhanan yang maha esa. Ke dalam dasar Negara. Maka secara tidak langsung Negara telah di pandang sebagai Negara Islam. Seperti pernyataan Mohammad Natsir dalam pidatonya di Pakistan yang intinya “Islam adalah agama Negara, dan Indonesia adalah sebuah Negara Islam berdasarkan keyakinan Islam adalah agama rakyat Indonesia. Karena telah secara tidak langsung Negara telah memasukan monoteistik. Kepada tuhan yang maha esa yakni sila pertama dari lima sila yang ada.
Namun, hubungan politik antara Islam dan Negara tidak berlangsung lama. Factor ideologis politis mengenai pembentukan Negara menjadi perdebatan yang amat pahit. Salah satu factor pemicu dari semua ini yaitu pada soal pemilihan umum dengan majelis konstituate sebagai lokus utamanya. Salah satu butir-butir agenda terpenting dalam kabinet pasca revolusi yaitu penyelenggaraan pemilihan umum untuk parlemen dan majelis konstituate. Akan tetapi semua ini terhambat dengan situasi revolusioner Negara tahun 1945-1949. Factor yang  paling penting menyebabkan tertundanya pemilu yaitu ketakutan para elit Negara dan partai khususnya mereka yang berasal dari kelompok nasionalis, bahwa ini akan merusak Islam dan Negara yang sudah di dekonfessionalisasi. Dan semua ini di luar dugaan Sjahrir yang mana ia berjanji akan melaksanakan pemilihan umum pertama pada awal bulan januari 1946. 
Dari sinilah politik ketakutan memerankan modelnya. Seperti A.R. Djokoprawiryo dari partai Indonesia Raya (PIR) menyatakan strategi partainya adalah menunda pemilihan umum sampai dimana para pendukung pancasila lebih kuat. Salah satu yang menggemborkan diskursus yang mendukung politik yang sudah di dekonfessionalisasi adalah Soekarno yang mana pada pada saat itu ia menjabat kepala Negara berpidato pada 27 Januari 1953 di amuntai yang terletak di Kalimantan yang mempunyai komunitas muslim terkuat. Ia mengingatkan para pendengarnya akan pentingnya mempertahankan Indonesia sebagai Negara kesatuan nasional. Negara yang kita inginkan adalah Negara yang nasional yang mencakup seluruh Indonesia. Karena andai kita mendirikan Negara Islam beberapa penduduk yang bukan muslim seperti Maluku, Bali, Timor, Flores, Kepulauan Kai, dan Sulawesi akan melepaskan diri dari Indonesia dan Irian Barat yang belum menajdi bagian dari wilayah Indonesia tidak akan mau menjadi bagian dari republic. 
Dari pidato ini kelompok Islam merasa terganggu dengan pidato Soekarno mereka menilai apa yang dilakukan tidak demokratis dan konstitusional. Bagi kelompok Islam Sokarno telah menyebarkan bibit separatisme dan ini memperlihatkan pemihakan kepala Negara kepada kelompok yang bertentangan dengan ideology Islam. Akan tetapi berbeda dengan penilaian PNI yang mana ia menganggap itu sebagai hal yang konstitusional yang mana langkah Soekarno itu adalah hak preogratifnya sebagai pemimpin revolusi, pemberi arah bagi seluruh rakyatnya. Karena menurut PNI semua ini harus di lihat sebagai upaya mempersatukan antara yang satu dengan yang lain selain itu agar tidak terjadi ketimpangan antara yang minoritas terhadap yang mayoritas (Islam). Dan lebih kuatnya konflik ideogis politik terjadi pada pemilu 1955 yang mana dari pihak Masyumi mengajukan gagasan mereka mengenai Islam dasar ideology Negara. Agenda ini sangat di perdebatkan dalam majelis konstituate (1956-1959). Semua ini lebih terbukti ketika dari kelompok Islam hanya menguasai kursi 43,5% saja di parlemen dan semua ini membuat mereka merasa sulit akan terus mendesakan ideology Islam Negara atau tidak.
Dan pada akhinya di satu sisi di pemilihan umum mereka tidak mempunyai hasil kesuksesan yang logis dan di sisi lain mereka tidak mengingkari teori dekonfessionalisasi (kompromi) maka dari itu mereka menerima Islam sebagai dasar ideology Negara yang berfungsi sebagai alat tawar politik untuk memenangkan tujuan-tujuan politik yang lebih kecil (yakni di delegasikannya piagam jakarta dan Islam sebagai agama Negara).  
Dari tahun 1950 hingga 1959 Indonesia telah mengalami tiga bentuk Negara dan konstitusi yang berbeda : (1) Dari 1945-1949, Indonesia adalah sebuah Negara kesatuan nasional di bawah UUD 1945, (2) Menyusul pemindahan kedaulatan dari Belanda pada 1949, Indonesia menjadi sebuah Negara federal dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS) di bawah UUD 1949. (3) Langkah penyatuan nasional pada 1950 menjadikan Indonesia kembali ke bentuk Negara kesatuan nasional di bawah UUD 1950 akan tetapi ini juga masih bersifat sementara, maka dari itu lembaga konstituate mengutamakan untuk menyusun sebuah rancangan konstitusi yang permanen.
Terjadinya pemilihan umum pada tahun 1950 merupakan wahana demokrasi yang sangat krusial. Yang mana diharapkan pemilu ini dapat mengakhiri perikaian antara partai dan di dalam partai masing-masing yang pada akhirnya membawa stabilitas politik.[3] Akan tetapi konflik masalah ideologi tak berujung selesai sampai di sini. Antara nasionalis dan agamis bukan saling merangkul melainkan makin jauh makin terpecah. Sehingga menjadi tiga aliran ideologis. ideologis yang tampil menonjol yaitu : Islam, Pancasila, dan social-ekonomi. Akan tetapi lagi-lagi perdebatan yang paling sengit yaitu dari ideology Islam dan Pancasila. Dari kelompok Islam mengusulkan di jadikan ideology Negara berdasarkan argument-argumen mengenai (1)Watak holistic Islam, (2)Keunggulan Islam terhadap semua Ideologi dunia lain. (3)Kenyataan bahwa Islam di peluk oleh mayoritas warga Negara Indonesia.
Dari kelompok Islam dipimpin oleh Mohammad Natser, Kasman Singodimejo, Zaenal Abidin, Isa Anshari, K.H Masjkur, mereka mempertahankan Islam yang holistic (suci). Mereka percaya bahwa Islam mengatur setiap aspek kehidupan. Menurut pandangannya Pancasila pada dasarnya adalah ideology secular (ladaniyah). Perumusannya pada dasarnya adalah bersifat sosiologis dan bukan keilahian tuhan. Hal ini merupakan konsepsi tuhan yang di buat oleh manusia dan sewaktu-waktu bias berubah tergantung situasinya. Mohammad Natsir pun menyatakan “Pancasila sebagai filsafat Negara itu bagi kami adalah kabur, dan tak bisa berkata apa-apa kepada jiwa umat Islam yang sudah mempunyai dan memiliki satu ideology yang tegas, terang dan lengkap dan hidup dalam kalbu rakyat Indonesia sebagai tuntunan hidup dan sumber kekuatan lahir dan bathin, yakni Islam. Dari ideology Islam ke Pancasila bagi umat Islam adalah ibarat melompat dari bumi tempat berpijak, ke ruang hampa, vacuum, tak berhawa[4].
Dan dari kelompok nasionalis yang dipimpin oleh Roeslan Abdul Gani dan Arnold Mononutu yang mempertahankan Pancasila, menolak pandangan bahwa pancasila merupakan konsep yang netral, apalagi ideology sekuler. Baginya Pancasila pancasila mengandung nilai ketuhanan yang maha esa dan mencakup pula badan-badan yang mengurus berhubungan dengan keagamaan yaitu departemen agama, ini merupakan indikasi kuat yang menyatak bahwa islam bukan merupakan unsur sekuler.dan bagi PNI dan aktivis Kristen Pancasila merupakan sintesis yang memadai bagi kelompok agama yang berbeda. Karena mengingat bahwa masyarakat Indonesia heteroge secara social keagamaan, mereka meragukan bahwa Islam dapat berperan sebagai pandangan dunia ideologis politis bagi seluruh Indonesia. Dan pernyataan Mohammad Natsir di tanggapi oleh Arnold dari ideology Pancasila ke ideology Islam bagi umat Kristen adalah ibarat dari bumi yang tenang dan sentosa untuk menjalankan agamanya yang volwaarding ke ruang kosong vacuum tak berhawa.[5]
Ketika kita proscek kebelakang yang mana Islam hanya menuntut penegasan piagam Jakarta, yang telah menghambatnya sidang konstituate, dan kekalahan Islam Islam pada Pemilu yang hanya mendapatkan 2/3 suara yang ada untuk menggolkannya. Islam hanya dapat menghasilkan kompromi yang sulit di temukan.
Jadi, secara simbolik Islam telah terkalahkan selama masa demokrasi terpimpinnya Soekarno. Artikulasi legalistik/formalistic gagasan dan praktik politik Islam, terutama gagasan Islam sebagai ideology Negara, mulai menunjukan bawaan yang negative kecuali NU yang segera menata kembali orientasi politiknya karena sering kali NU dipandang partai yang oportunistik, dan menerima manipol Usdeknya Soekarno. Dan kepemimpinan Mohammad Natsir dan Sjafruddin Prawinegara dikarenakan oposisi terhadap pemerintah yang berkesudahan dan ikut terlibat dalam pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia PRRI, Soekarno membubarkan Masyumi tahun 1960. Akan tetapi, Pada masa pemerintahan Soeharto, terjadi rehabilitasi sebagian dari tokoh-tokoh Masyumi, di mana beberapa tokoh-tokoh Masyumi diperbolehkan aktif kembali dalam politik dengan meleburkan diri ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP).[6]


[1] Melalui surat keputusan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada tanggal 5 April 1952 akibat adanya pergesekan politik di antara kaum intelektual Masyumi yang ingin melokalisasi para kiai NU pada persoalan agama saja.
[2] Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Perjanjian_Renville
[3] Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, h. 432
[4] Bahtiar Effendy, Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam Di Indonesia, h.108
[5] Ibid, h.109
[6] http://id.wikipedia.org/wiki/Majelis_Syuro_Muslimin_Indonesia

Tidak ada komentar: