Pemilu RW

Pemilu RW

Jumat, 21 Januari 2011

Etika Birokrasi Publik

Etika Administrasi Negara (Birokrasi Publik)
Ketika akan menelusuri apa itu etika dan moral dalam birokrasi dilihat dari kaca mata good governance, pastinya kita harus mengetahui apa itu etika, apa itu moral, apa itu birokrasi, dan apa itu good governance. Setelah itu pasti kita akan mengetahui arti keseluruhan dari semua ini, dan mengerti betapa pentingnya etika dan moral dalam Administrasi Negara (birokrasi Publik).
Etika berasal dari bahasa yunani yaitu “ethos”. Dalam bentuk tunggal “ethos” berarti tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, akhlak, perasaan, cara berfikir. Dalam bentuk jamak “ethos’ berarti ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan[1] sedangkan moral adalah adat kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik dan menghindari hal-hal tindakan yang buruk. Jadi, Moral atau moralitas untuk penilaian perbuatan yang dilakukan, sedangkan etika adalah untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang berlaku. Etika juga sering disebut filsafat moral karena etika merupakan cabang filsafat yang berbicara mengenai tindakan seluruh manusia dan tujuan utamanya.
Etka merupakan dunianya filsafat, nilai, dan moral. Etika bersifat abstrak dan berkenaan dengan persoalan “baik dan buruk” dan bukan mempersoalkan “benar atau salah”. Sedangkan administrasi negara (Birokrasi Publik) bersifat konkret dan harus diinginkan apa yang harus mewujudkan apa yang diinginkan (Ged The Job Done). Berdasarkan gamabaran di atas akan timbullah masalah berikut. Pertama bagaimana menghubungkan gagasan administrasi seperti ketertiban, efisiensi, kemanfaatan, dan produktivitas yang dapat menjelaskan etika dalam praktiknya. Kedua, bagaimana gagasan-gagasan dasar etika seperti mewujudkan yang baik dan menghindari yang buruk itu dapat menjelaskan hakikat administrasi.
Dari penjelasan diatas akan timbul pertanyaan, yakni faktor apa saja yang menyebabkan berkembangnya konsep etika administrasi negara (Birokrasi Publik). Menurut Nicholash Henry (1995)[2], setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan konsep etika dalam administrasi negara (Birokrasi Publik) berkembang. Pertama, hilangnya dikotomi politik dan administrasi. Kedua, tampilnya teori-teori pengambilan keputusan ketika masalah perilaku manusia menjadi tema sentral dibandingkan dengan pendekatan sebelumnya seperti rasionalitas, dan efisiensi. Ketiga, berkembangnya pandangan-pandangan pembaruan yang disebutkan sebagai “counter culture critique” dalam kelompok yang dinamakan “administrasi Negara Baru”. 
Arti Penting Etika Bagi Administrasi Negara
Seperti telas dijelaskan etika sangat mempersoalkan baik dan buruk dan bukan benar dan salah. Tentang suatu tindakan dan perilaku manusia dengan sesamanya baik dalam masyarakat ataupun dalam organisasi publik atau bisnis, maka etika mempunyai peran penting dalam praktik administrasi negara.
Dalam paradigma dikotomi politik dan administrasi sebagaimana yang dijelaskan oleh Wilson ditegaskan bahwa pemerintah memiliki dua fungsi yang berbeda yaitu fungsi politik dan fungsi administrasi. Fungsi politik ada kaitannya dengan pembuatan kebijakan atau pernyataan yang menjadi keinginan negara. Sedangkan fungsiadministrasi berkenaan dengan pelaksanaan kebijakan-kebijakan tersebut. Dengan demikian kekuasaan membuat kebijakan publik berada dalam kekuasaan politik dan melaksanakan kebijakan politik tersebut merupakan kekuasaan administrasi negara (Birokrasi Publik). Namun karena administrasi negara telah memilki kewenangan dalam menjalankan kebijakan politik secara umum, mka akan timbul pertanyaan yakni apakah ada jaminanan kewenangan itu dapat digunakan secara “benar dan tidak secara salah” atau secara “ baik dan tidak secara buruk”. Atas dasar tersebut etika sangat diperlukan dalam administrasi negara. Etika juga dapat dijadikan pedoman, referensi, dan petunjuk tentang apa yang harus dilakukan oleh birokrasi dalam kebijakan politik.
Sejak awalnya masalah kebaikan dan keburukan telah menjadi bagian dari bahasan dalam administrasi; walaupun sebagai subdisiplin baru berkembang kemudian. Misalnya, konsep birokrasi dari Weber, dengan konsep hirarkinya dan birokrasi sebagai profesi, mencoba untuk menunjukkan birokrasi yang baik dan benar. Begitu juga upaya Wilson untuk memisahkan politik dari administrasi. Bahkan konsep manajemen ilmiah dari Taylor dapat juga dipandang sebagai upaya ke arah itu. Cooper (1990) bahkan menyatakan bahwa nilai-nilai adalah jiwanya administrasi negara. Frederickson (1994) mengatakan nilai-nilai menempati setiap sudut administrasi. Jauh sebelum itu Waldo (1948) menyatakan siapa yang mempelajari administrasi berarti mempelajari nilai, dan siapa yang mempraktekkan administrasi berarti mempraktekkan alokasi nilai-nilai.
Beberapa pandangan yang mendukung arti penting etika dalam etika administrasi negara (Birokrasi Publik) dikutip dari Ginanjar Kartasasmita (1997)[3], antara lain sebagai berikut administrasi negara selalu dilihat sebagai masalah teknis, bukan masalah moral sehingga timbul beberapa persoalan dalam berkerjanya administrasi negara (Golembiewski, 1965). Administrasi negara sebagai bentuk organisasi yang ideal telah merusak dirinya dan masyarakatnya dengan ketiadaan norma-norma, nilai-nilai, dan etika yang berpusat pada manusia. (Hummel, 1987).
Berdasaran elaborasi tersebut maka dapat diambil kesipulan bahwa etika diperlukan dalam praktik administrasi negara (Birokrasi Publik), tidak saja berfungsi sebagai pedoman, referensi dan penuntun apa yang harus dilakukan dalam menjalankan tugasnya, tetapi juga berfungsi sebagai standar untuk menilai apakah sifat perilaku, tindakan atau sepak terjangnya dalam menjalankan tugas dinilai baik atau buruk. Jadi etika administrasi negara memiliki dua fungsi yaitu pertama, sebagai pedoman, acuan, referensi bagi administrasi negara (Birokrasi Publik) dalam menjalankan tugas dan kewenangannya agar tindakannya dalam beroganisasi dinilai baik, terpuji dan tidak tercela. Kedua, sebagai standar penilaian sifat, perilaku, dan tindakan administrasi negara dinilai baik dan tidak tercela. Dengan demikian, etika administrasi negara tidak mempersoalkan perbuatan administarsi negara benar atau salah akan tetapi mempersoalkan atau menilai sifat perilaku dan perbuatan administrasi negara tersebut.
Pendekatan Etika dalam Administrasi.
Fox (1994), antara lain mengetengahkan tiga pandangan yang menggambarkan pendekatan deontologi dalam etika administrasi ini.
Pertama, pandangan mengenai keadilan sosial, yang muncul bersama berkembangnya “Administrasi Negara Baru” (antara lain Frederickson dan Hart, 1985). Menurut pandangan ini administrasi negara haruslah secara proaktif mendorong terciptanya pemerataan atau keadilan sosial (social equity). Mereka melihat bahwa masalah yang dihadapi oleh administrasi negara modern adalah adanya ketidakseimbangan dalam kesempatan sehingga mereka yang kaya, memiliki pengetahuan, dan terorganisasi dengan baik, memperoleh posisi yang senantiasa menguntungkan dalam negara. Dengan lain perkataan, administrasi haruslah membantu yang miskin, yang kurang memiliki pengetahuan dan tidak terorganisasi. Pandangan ini, cukup berkembang, meskipun di dunia akademik banyak juga pengeritiknya.
Kedua, apa yang disebut regime values atau regime norms. Pandangan ini terutama bersumber dari Rohr (1989), yang berpendapat bahwa etika administrasi negara harus mengacu kepada nilai-nilai yang melandasi keberadaan negara yang bersangkutan. Dalam hal ini ia merujuk kepada konstitusi Amerika yang harus menjadi landasan etika para administrasi di negara itu.
Ketiga, tatanan moral universal atau universal moral order (antara lain Denhardt, 1988-1991). Pandangan ini berpendapat bahwa ada nilai-nilai moral yang bersifat universal yang harus menjadi pegangan bagi administrator publik. Masalahnya di sini ada lah nilai-nilai moral itu sendiri banyak yang dipertanyakan karena beragamnya sumbernya dan juga kebudayaan serta peradaban, seperti telah diuraikan di atas.
Pandangan etika kebajikan bertumpu pada karakter individu. Pandangan ini seperti juga pandangan “Administrasi Negara Baru” bersumber dari konperensi Minnowbrook di New York pada akhir dasawarsa 1960-an, yang ingin memperbaharui dan merevitalisasi bidang studi administrasi negara. Nilai-nilai kebajikan inilah yang diharapkan dapat mengendalikan peran seseorang di dalam organisasi sehingga pencapaian tujuan organisasi senantiasa berlandaskan nilai-nilai moral yang sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Dalam membahas etika dalam organisasi, sejumlah pakar membedakan antara etika perorangan (personal ethics) dan etika organisasi. Etika perorangan menentukan baik atau
buruk dalam perilaku individual seseorang dalam hubungannya dengan orang lain dalam
organisasi. Etika organisasi menetapkan parameter dan merinci kewajiban-kewajiban (obligations) organisasi itu sendiri, serta menggariskan konteks tempat keputusan-keputusan etika perorangan itu dibentuk (Vasu, Stewart, Garson, 1990). Menjadi tugas bagi para pengkaji organisasi untuk memahami lebih dalam hakikat etika perorangan dan etika organisasi serta interaksinya.
Pembahasan yang terakhir adalah mengenai etika profesional. Nilai-nilai kebajikan yang dibicarakan di atas adalah etika perorangan yang harus dimiliki siapa saja, tidak terkecuali, bahkan dalam pandangan ilmu administrasi, justru terutama harus dimiliki oleh mereka yang menjadi pengabdi masyarakat (public servants).
Etika profesional lebih sempit dibandingkan dengan etika perorangan yang berlaku buat semua itu. Dalam menganalisis etika perorangan dari kaca mata ilmu administrasi, Rohr (1983) membaginya dalam kelompok metaetika (studi mengenai dasar-dasar linguistik dan epistemiologis dari etika), etika umum (prinsip-prinsip mengenai benar dan salah), dan etika khusus. Etika khusus dibaginya lagi menjadi etika individual dan etika sosial. Dalam etika khusus ini ia memasukkan etika profesional. Paham lain melakukan pendekatan analitis yang berbeda, tetapi pendekatan di atas saya kemukakan sebagai suatu ilustrasi upaya untuk mengetahui kedudukan etika profesional dalam keseluruhan sistem nilai yang membentuk etika perorangan, dari sudut pandang ilmu administrasi.
Etika profesional berkaitan dengan pekerjaan seseorang. Oleh karena itu, etika profesional berlaku dalam suatu kerangka yang diterima oleh semua yang secara hukum atau secara moral mengikat mereka dalam kelompok profesi yang bersangkutan. Etika profesional pada profesi tertentu dilembagakan dalam apa yang umum disebut kode etik. Misalnya, kode etik untuk dokter, hakim, pengacara, wartawan, arsitek, pegawai negeri, periklanan dan sebagainya. Kode etik itu ada yang diperkuat oleh sistem hukum, atau mengikat secara sosial dan secara kultural, sehingga mengikat secara moral.
Masalah Etika Birokrasi dalam administrasi Pembangunan
Ketika bahwa masalah etika dalam administrasi adalah masalah yang menjadi kepedulian dan keprihatinan para pakar di bidang ini. Ia menjadi masalah di negara yang paling maju sekalipun, yakni di negara seperti Amerika Serikat yang telah berdiri selama dua seperempat abad, yang konstitusi dan gagasan-gagasan idealnya menjadi contoh bagi konstitusi dan gagasan gagasan dasar banyak negara lain, dan yang administrasinya juga menjadi rujukan administrasi di banyak negara lain. Negara-negara lain yang telah lanjut usia nya, seperti Inggris, Prancis, dan Jepang, juga mengalami masalah yang sama, yaitu persoalan dalam etika birokrasinya.
Di negara-negara itu birokrasi diandalkan untuk menjadi pelindung dan pengayom masyarakat, yang bersifat jujur dan adil, dan keseluruhan sistemnya diarahkan untuk menjamin adanya hal itu. Namun, ternyata mereka tetap saja menghadapi masalah dalam birokrasinya, yang terlihat dari banyaknya skandal yang melibatkan birokrasi mereka. Dengan latar belakang pandangan itu, adalah wajar apabila di negara yang baru membangun ditemukan pula masalah-masalah yang sama. Bahkan sulit untuk dibantah, meskipun perlu ada kajian yang lebih dalam, bahwa di negara berkembang masalah etika ini proporsinya jauh lebih besar.
Seperti kita ketahui fungsi dan peran adanya birokrasi itu sendiri meliputi:
  • ·         melaksanakan pelayanan publik
  • ·         pelaksana pembangunan yang profesional
  • ·         perencana, pelaksana dan pengawas kebijakan
  • ·         alat pemerintah untuk melayani kepentingan masyarakat dan negara yang netral dan bukan merupakan bagian dari kekuatan mesin politik
kewenangan birokrasi adalah kewenangan formal yang dimlilki dengan legitimasi produk hukum bukan legitimasi politik. Klasifikasi birokrasi di lihat dari sisi pelaksana terbagi 2 : sektor privat (sekolah swasta, perusahaan swasta dll), birokrasi sektor publik (pemerintah pusat, pemerintah daerah dll). Dilihat dari arti luas dan sempit birokrasi eksekutif (kabinet, departemen, kementrian negaradll) dan birokrasi negara (eksekutif, legislatif, yudikatif). Dilihat dari tingkatan pemerintah (pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, pemerintah desa).
Penyakit  yang ada di Negara-negara terhadap Birokrasi[4] yaitu Pertama, belum tercipta tradisi administrasi yang baik, yang menjaga timbulnya masalah etika seminimal mungkin. Kedua, adanya keterbatasan dalam sumber daya, yang menyebabkan pengembangan administrasi yang baik tidak bisa cepat berjalan. Ketiga, administrasi hidup dalam suatu sistem politik, dan di banyak negara berkembang sistem politik itu sendiri masih berkembang. Dengan demikian, masalah etika dalam administrasi negara yang sedang membangun jauh lebih rumit dibandingkan dengan masalah etika di negara yang sudah maju, yang dari uraian di atas juga kita ketahui sudah cukup rumit. Dengan kata lain, variabelnya lebih luas dan ketidakpastiannya lebih besar. Oleh karena itu, akan sangat keliru apabila orang berpendapat bahwa memperbaiki birokrasi di negara berkembang adalah pekerjaan mudah.
Setelah mengenali penyakit-penyakit birokrasi yang dihadapi negara berkembang pada
umumnya, kita bisa memilih salah satu dari dua alternatif tersebut. Yaitu hanya bisa melihat dengan santai-santai aja atau pilihan kedua bekerja keras untuk merubah atau mereformasi semua kinerjanya. Karena perlu diketahui oleh kita semua banyak kekurangan yang ada pada tubuh indonesia ini yaitu:
Pertama, ekonomi Indonesia sekarang ada pada ambang (threshold) untuk meningkat dari ekonomi berpendapatan rendah menjadi ekonomi berpendapatan menengah. Secara struktural sedang terjadi perubahan dari ekonomi, dengan basis agraris, ke ekonomi dengan basis industri.
Kedua, selain transformasi ekonomi, juga terjadi trans formasi budaya dalam masyarakat kita, dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern.
Ketiga, sebagai akibat dari keduanya masyarakat Indonesia telah teremansipasi dan telah mulai melepaskan diri dari perangkap keterbelakangan. Derajat pendidikan dan kesehatan warga telah meningkat, berarti pula kecerdasan, harapan, dan tuntutannya. Masyarakat yang demikian tidak akan sabar dengan perbaikan yang berjalan lambat, terutama dalam birokrasi, yang menjadi tumpuan harapan perbaikan kehidupannya. Akibatnya, dapat meningkatkan ketegangan-ketegangan dan friksi-friksi sosial.
Keempat, globalisasi akan meningkatkan kadar keterbukaan dan kadar informasi bangsa Indonesia, dan akan lebih meningkatkan lagi wawasan, kesadaran dan pengetahuannya, dan dengan sendirinya harapan-harapan dan tuntutan-tuntutannya.
Kelima, liberalisasi perdagangan dan integrasi pandangan dunia, membuka peluangpeluang baru dan memberikan harapan-harapan baru untuk membangun kehidupan yang lebih baik, secara dipercepat. Namun, hal itu juga dapat membawa malapetaka apabila peluang-peluang tersebut kita tidak mampu memanfaatkannya. Kuncinya adalah daya saing. Oleh karena itu, meningkatkan daya saing adalah tantangan dan harus menjadi agenda pembangunan yang utama dalam memasuki abad ke-21. Daya saing ditentukan oleh dua hal, produktivitas dan efisiensi. Produktivitas ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia dan efisiensi berkaitan dengan aspek kelembagaan. Dalam membangun kelembagaan yang efisien ini peran administrasi pemba ngunan teramat penting.
Semuanya itu, menuntut birokrasi pembangunan yang mampu mendukung proses perubahan itu dan aspirasi yang berkembang bersamanya. Birokrasi seperti apa adanya,
dalam kondisi sekarang ini, meskipun telah banyak kemajuannya, tidak akan memadai. Harus ada perbaikan, dan perbaikan itu harus terwujud dengan nyata dalam administrasi yang lebih berkualitas dan birokrasi yang bekerja lebih baik.
Seperti yang dicita-citakan oleh kaum “Administrasi Negara Baru”, birokrasi kita hendaknya memiliki pula semangat keadilan sosial, yang akan tercermin dalam keberpihakan kepada yang lemah dalam kebijakan-kebijakan dan tindakan-tindakannya. Selanjutnya seperti dianjurkan oleh pandangan regime value, birokrasi kita harus berpegang teguh kepada konstitusi dan segenap ketentuan pelaksanaannya. Sebaliknya, birokrasi harus menentang habis-habisan setiap upaya yang tidak konstitusional apalagi yang bertentangan dengan konstitusi.

Jadi, andai etika birokrasi berjalan dengan baik maka pemerintahan yang ada sekarang ini akan baik-baik pula. Seperti kita lihat dalam Prinsip-prinsip good governance yaitu partisipasi, penegakan hukum, transparansi, kesertaraan, daya tanggap, wawasan ke depan, akuntabilitas, pengawasasan, efisien dan efektifitas, dan profesionalisme. Maka moral dalam birokrasi akan berjalan dengan mulus.













[1] Muhamad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), h. 173. 
[2] Dr. Joko Widodo M.S, Membangun Birokrasi Berbasis Kinerja, (Jawa Timur: Bayu Media Publishing, 2007), h. 52 
[3] Ibid, h. 54 
[4] Dikutip dari Ginanjar Kartasasmita. Orasi Ilmiah Dies Natalis ke -41 FISIPOL UGM, (Yogyakarta, 19 September 1996)

Tidak ada komentar: